SURAT TERAKHIR
Oleh: ROSITA DEWI
Tema:
Percintaan
Amanat:
Jika kita mencintai dan menyayangi seseorang, kita harus segera mengungkapkannya sebelum orang yang kita cintai itu pergi jauh meninggalkan kita. karena, kalau tidak, kita akan menyesal dikemudian hari.
Debi mengusap keringat di mukanya. Matahari siang itu begitu terik membakar kepala-kepala tanpa topi. Debu berterbangan di tiup angina kering bercampur polusi asap knalpot mesin kendaraan yang berlalu lalang tanpa henti.
Cowok diatas motor itu masih mensejajarinya. Gadis itu berjalan kesal, ia merangkak di bawah atap warung kaki lima yang menjorok trotoar.
“Kamu pulang duluan aja, nggak perlu ngikutin aku terus”, kata Debi ketus. Cowok di atas motor itu mencengkeram rem kuat.
“Siapa tahu kamu berubah pikiran”, ujarnya. “Berubah pikiran?”, Debi menggeleng kuat. “Tidak!”, serunya.
“Ayolah…panas begini”, cowok itu masih berusaha membujuk. “Kamu nggak akan naik angkot kan?”, tanyanya.
“Aku sudah bilang kamu nggak perlu tunggu aku. Aku bisa pulang bareng teman-temanku!”, serunya tegas.
“Dari tadi kamu jalan sendiri”, selanya.
“Itulah, karena kamu selalu ngikutin aku!”, suara Debi meningggi.
Sepasang mata cowok itu sedikit berkilat. Lalu dengan sentakan, ia menghidupkan motornya dan meninggalkan Debi.
Debi terpaku beberapa saat, ada rasa yang menyelusup perlahan, merasa sesal telah menyakiti hati Fandy, cowok yang sejak kelas 3 SMA ini jadi teman dekatnya. Setelah hari itu ia menjauhi Fandy.
“Debi, apa benar kamu putusan sama Fandy?”, tanya seseorang yang mengejutkannya. “Kenapa kalian putus?”, tanyanya lagi seakan merasa belum puas dengan pertanyaan tadi.
Sesaat Debi hanya terdiam. Dia bingung jawaban apa yang harus diberikannya, namun Debi bersyukur masih bisa menyembunyikan kebimbangannya. “Nggak, kalian salah, kami nggak ada hubungan apa-apa”, ujarnya pelan hampir saja tidak terdengar.
Seminggu berlalu, Debi masih merasa bersalah terhadap Fandy. Kadang ada rasa ingin meminta maaf, namun rasa itu dibuang jauh-jauh dan disimpannya dalam hati saja.
Tiba-tiba tanpa diduga, “Sorry, aku waktu itu bikin kamu marah ya?”, ujarnya ringan, lalu duduk disamping Debi sambil memberikan coklat kepada Debi. Debi hanya diam tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Nggak apa-apa kok kalau kamu mau pulang sendiri atau bareng teman-temanmu!”, serunya lagi seakan ingin meyakinkan.
Debi masih diam, dia berpikir 1 tahun sudah cukup lama untuk sebuah pendekatan bahwa teman-temannya telah menganggap Fandy pacaran dengannya. Itu suatu hal tersulit untuk menghindarinya, karena Fandy biasa bersamanya meski Fandy sudah punya pacar.
Sebenarnya, Debi itu suka sama Fandy, tetapi Debi takut akan merusak persahabatannya bersama Fandy. Takut apakah hanya dia yang mencintainya dan takut akan rasa sakit yang akan melanda. Akhirnya, ia putuskan untuk tidak ada Fandy disisinya dan di dalam hatinya.
“Debi, kamu kenapa?”, suara itu memecahkan lamunanku.
“Ah, nggak kok”, jawab Debi.
“Kamu sakit?”, tanyanya lagi. “Kalau kamu sakit, izin pulang aja”, ujar Fandy.
“Ndy, cukup?”, bentak Debi keras yang mengagetkan seluruh kelas terutama Fandy. Cowok itu terdiam membisu.
“Ndy, aku mohon kamu jangan mengganggu aku lagi”, tegas Debi sengit mengakhiri pembicaraan itu. Dia pun pergi meninggalkan cowok itu.
“Deb, tunggu!”, panggil Fandy berlari mengejarnya.
“Kenapa?”, Tanya Fandy. “Kenapa?”, ualangnya lagi.
Debi hanya diam membisu. Jawaban apa yang harus diberikannya selain hanya tertunduk lesu dihadapan cowok yang sudah membuatnya merasa bersalah itu.
“Kamu berubah Deb”, seru Fandy dengan ketusnya. Debi semakin tertunduk lesu mendengar perkataan cowok itu. Fandy pun berlalu pergi meninggalkan Debi dengan raut muka kecewa.
Sedari tadi Debi hanya mengutak-atik pena yang ada diatas meja. Ada rasa sakit di dadanya yang selalu menyiksanya. Sekilas ia menoleh ke arah cowok itu, namun tiba-tiba cowok itu menoleh ke arah Debi dan secara spontan ia memalingkan pandangannya.
“Deb, kamu nggak mencatat?”, tanya Sisi yang sedari tadi memandangi tingkah laku Debi, mungkin kejadian tadi pun ia tahu.
“Ah nggak lagi males”, jawab Debi dengan lesunya.
“Deb, aku heran akhir-akhir ini kamu dan Fandy…..” belum sempat Sisi menjelaskan….
“Hiks…hiks…”, suara tangisan terdengar dari mulut Debi.
“Deb, ada apa?”, tanya Sisi cemas. Debi masih saja menangis, air matanya tak hentinya mengalir menggenangi pipi mulusnya itu.
Ketika suasana tenang, Debi pun menceritakan semua yang terjadi dan semua perasaan di dirinya.
“Deb, bodoh kamu!”, bentak Sisi yang membuat Debi terkejut. “Cepat sana bilang perasaan lho padanya sebelum terlambat!”, seri Sisi.
“Terlambat?”, ulang Debi.
“Iya ntar dia mau pindah, buruan bilang!”, perintah Sisi. Tanpa pikir panjang Debi pergi mencari Fandy. Namun sia-sia, karena Fandy tak ditemukan lagi.
Tiga hari berlalu, Fandy tak pernah masuk sekolah.
“Sisi, apa dia sudah pergi?”, tanya Debi diiringi air matanya.
“Aku menyesal, Si!’, seru Debi.
“Tenang Deb, dia pasti akan menghubungimu”, hibur Sisi.
Tak berapa lama dari pernyataan Debi tadi, seseorang datang menghampirinya.
“Deb!”, teriak seseorang.
“Eh, elho ko”, balas Debi.
“Ada apa?”, tanya Debi heran.
Miko menyerahkan sebuah amplop merah muda kepada Debi.
“Apa ini?”, tanya Debi.
“Itu dari Fandy”, seru Miko.
“Dimana dia?”, tanyanya antusias.
“Dia sudah berangkat pagi tadi”, ujar Miko padanya.
Reni hanya bisa menyimpan rasa kecewanya, lalu dibukanya surat itu.
Palembang, 29 April 2007
Salam Sayang,
Hai Deb, mungkin ketika kamu membaca surat ini, aku sudah pergi jauh. Oh iya, maaf yach semua tingkahku membuatmu kesal. Tetapi sesungguhnya, aku sayang kamu, Deb. Sebelum aku menyesal, aku hanya ingin katakan bahwa sesungguhnya aku cinta kamu tetapi aku tahu kamu nggak cinta sama aku, hingga aku merasa putus asa. Sudah yach, selamat tinggal….
Salam Sayang
FANDY
Debi menjatuhkan surat itu, surat terakhir dari Fandy. Kini penyesalan yang amat mendalam menghantui ruang hatinya. Debi hanya bisa mengingat Fandy dalam kenangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar