Nama : Emilia
Nim : 2007112084
IbU, kEmAnA SaJa KaU SeLaMa ini?
Sorotan mata itu telah kumiliki sejak enam bulan yang lalu. Sorotan dingin serta guratan wajah yang dialiri beban hidup. Aku sudah kasep dengan kedinginan itu. Sorotan yang melumpuhkan angan-anganku tentang kehangatan pemiliknya yang acapku temui bersama cincangan ubi. Seperti pagi yang sudah-sudah, dalam kebisuan yang meregang kehampaan ikatan naluri dua insan yang tak berhijab. Sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu aku jajakan bungkusan cincang buatan ibu dari rumah makan kerumah makan. Tapi kali ini aku tidak perlu tergesa-gesa mengayuh federal tuaku, karena pasca Ujian Nasional telah seminggu.
Bungkusan berisi potongan ubi yang digoreng setelah dikukus, sudah tidak membebani sepedaku lagi, ketika melewati lampu merah, di sana tampak seorang bocah laki-laki mendekap setumpuk koran di dada telanjangnya. Lalu kudekati. “Dek, hari ini Palembang Pos memuat pegumuman PMDK‘kan?”
Bocah berusia 8 tahun itu mengangguk bersemangat, mengira aku akan membeli korannya.
“Mbak boleh lihat? Bentar… aja!” Aku membuyarkan kegirangannya.
Mata bulat berbinar yang penuh harap, seketika melotot dan mulutnya ikut bersungut. “Melihat berarti membeli, apalagi memegang!!” hardiknya memaksaku untuk beranjak.
Tanpa putus harapan, kukayuh sepeda yang batangnya sudah tak bermerk ke halte, tidak jauh dari lampu merah. Seorang bapak-bapak bertampang sangar, sedang menikmati selintingan tembakau di cerutu kuno dan sebentangan koran. Tubuhnya yang besar serta wajah yang dihiasi jambang yang lebat membuat aku ciut juga, namun apa boleh buat aku harus coba dulu. “Ya Tuhan… semoga dia…” belum sempat aku berada di sampingnya, tiba-tiba sebuah bus berhenti, bapak itu bergegas melipat koran dan menaiki bus. “Ya…,” aku hanya menghela nafas kecewa, tanpa semangat kunaiki sepeda yang hampir kusandarkan di tiang listrik. “Bagaimana ini, di mana lagi aku bisa lihat koran gratis!” bisik hatiku setengah putus asa. Kayuhanku mulai tak berdaya, sehingga aku pun berhalusinansi, di sebelah kiri pohon Akasia yang rindang melambai ke arahku, menawarkan kesegaran di bawah dekapan dedaunannya yang rimbun. Tanpa piker panjang, kurebahkan sepedaku dan aku pun menyandarkan punggungku di batangnya yang kokoh. Tidak beberapa detik menikmati kesejukan, suara yang tak asing menyapaku.
“Hai… fren… selamat ya… kau diterima di FKIP Kimia Lho…! wah-wah calon guru nih,” tepukan gulungan koran menyusul mendarat di pundakku. “Wow… kau rupanya, Teja? Selalu saja hadir dengan membawa apa yang kubutuhkan. Aku baru saja kepusingan nyari koran.” “Biasa ajalah. O ya, eh iya, aku ikut pergi nemenin kamu interview ya, Rif ?”
“Boleh-boleh! Tapi mana dulu namaku di koran ini? Aku mau lihat sendiri. Sapa tau kamu salah baca lagi.” Mataku sibuk mengamati deretan nama yang tertera di halaman koran. “Tu ha…, belalakan dikit mata tu kawan…”Eka menghujamkan telunjuknya tepat di nama Emilia
“Eh iya, ya! Kalau gitu kita pulang lagi yuk! Kau kubonceng saja kawan.”
Sesampai di tengah halaman, cepat-cepat aku turun dari sepeda tanpa sempat lagi menyandarkannya dengan baik-baik, seraya berlari masuk ke rumah. Kuhampiri sosok laki-laki yang terbaring lemah di sudut ruangan yang berhadapan dengan dapur. “Bah…, Abah… Emi lolos SPMB, Bah! Semoga ini jalan untuk meringankan biaya kuliahku Lengan kurus abah meraih pundakku kemudian bergerak mengusap kepalaku. Dengan nanti.” berlinangan air mata seraya terbata-bata memenggal kalimat. ”Apa pun langkahmu dalam meraih cita-cita, ayah selalu meridhoimu. Jadilah pahlawan dalam bercita-cita.”
Tatkala aku dan abah larut dalam kehangatan, dari dapur terlihat sosok yang sibuk membuka kukusan, sesekali melirik kami dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Sedikit pun ia tidak memberi reaksi atau menanggapi kabar yang kuceritakan. Aku sudah terbiasa menghadapi sikap dingin ibu. Bahkan aku sudah tak ingat lagi dengan kehangatan yang pernah ia berikan. Mungkin itu adalah salah satunya pelengkap penderitaanku selain dari kemiskinan. Ibu terus mengaduk cincangan ubi di kukusan., kurasa ia muak dengan berita yang sedikit pun tak mengubah perekonomian keluarga. Kebisuan tanpa kecairan yang mampu kuciptakan bersama ibu, membuatku membantunya tanpa perintah dan diperintah. Kujerang kuali berisi minyak untuk menggoreng cincangan ubi yang baru selesai diangkat dari kukusan.
Pagi-pagi aku bergegas mengantarkan bungkusan cincang ubi ke warung-warung dan rumah makan. Aku tergesa-gesa, hingga aku mampir ke rumah Maya dan memaksanya untuk meminjam sepeda motor ayahnya.
Di perjalanan Maya begitu laju mengendarai Astrea ayahnya. Tatkala sampai di persimpangan jalan tak beraspal, sisa air hujan di beberapa lobang di jalan mengotori celana Apolo hitamku. Kemudian ban motor pun bocor, Karena sangking laju dan jalan yang buruk, ditambah bannya yang sudah tua.
Teja memandangku iba, ”Semangat sobat! Ini kode-kode alam! Sudah kau pelajari, bukan? Etika interview…” Maya mengembangkan senyumannya.
Dengan sedikit terobati rasa was-wasku oleh sikap teja, segera kubantu ia menyeret astrea ke bengkel yang kebetulan tak jauh dari tempat kami berdiri.“ Teja!”
“Apa sobatku tersayang…?”
“Andai saja Tuhan meminta aku menyerahkan orang yang kucintai, maka aku akan rela ia mengambil ibuku dari pada kamu.” “Ha, apa yang barusan kau ucapkan, kawan? Eling dong! Kasih ibu sepanjang masa, kasih sahabat sepanjang persahabatan.” Maya membayar upah bengkel dan kami pun tancap gas.
Proses interview telah hamper seminggu kulewati, dengan harapan yang semakin menggebu-gebu, kuingin lolos. Aku yakin aku lolos, sebab aku menjawab semua pertanyaan dengan tepat, dan sejujurnya, termasuk propesi orang tuaku. Aku terus bersabar menanti Maya hadir dengan teriakan ‘good luck my fren!’, ‘hebat kau kawan, traktir-traktir!’ atau apalah yang biasa keluar dari mulutnya. Kesabaranku sebenarnya sudah sangat renta, andai saja tak ditopang oleh ucapan bijak abah yang selalu menyejukkan hatiku.
Hari Sabtu sore ibu menugasiku memarut ubi untuk membuat bolu kukus pesanan tetangga yang akan mengadakan arisan. Sambil memarut ubi kuperhatikan lekat-lekat wajah tirus ayah yang semakin tak bergairah lagi. Rambutnya kian hari kian berguguran. Aku iba sekali dengan kondisi ayah, telah hampir empat tahun ia tidak menarik oplet lagi, artinya telah hampir 4 tahun pula ia terbaring. Abah, bertahanlah… tunggu aku menjadi orang. Izinkan aku mengabdi.
Ubi yang kuparut telah selesai. Dan kebetulan ibu baru saja pulang dari pasar. Ketika aku melemas-lemaskan pergelangan tangan, Teja datang dengan langkah dan pias wajah tak menunjukkan kegirangan. Perasaanku berubah tak enak. Apalagi kulihat segulungan koran di tangannya. Pelan sekali ia mendekat kepadaku seraya berbisik. ”Sabar sobat, perjuangan belum berakhir, Tuhan mungkin menakdirkan kita ikut SPMB bersama-sama.” Aku segera bangkit mendengar ucapan Maya“Jangan berbicara takdir, Tej! Kalau itu sama sekali tak mungkin. Kau kan tahu, dari PMDK ini saja aku entah kuliah entah tidak.” Kesal. Teja menatapku tak percaya, “Aku akan membantumu membeli formulir!” ia menmcoba mengertikan aku.
“Simpan bujukanmu, kawan.” Ibu sibuk dengan pekerjaannya, seperti biasa ia seolah-olah tak pernah dengar apa pun tentang permasalahanku. Dadaku semakin panas, pemandangan yang bergantian di benakku hanyalah wajah ayah yang terbaring lemah dan wajah ibu yang dingin. Aku tak lagi berfikir, untuk membenturkan kepalaku ke tembok rumah yang kulihat seperti susunan roti bantal yang empuk Kedinginan itu telah usai seiring tetesan terakhir darah dari ubun-ubunku.***
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar