Sabtu, 19 Juni 2010

Aku Masih Disini Untuk Setia
Oleh: Rosita Dewi


Vino berlari dengan cepat menuju halte yang terlihat di depannya. Hari ini hujannya deras sekali padahal tadi cuacanya terlihat cerah, entah kenapa tiba-tiba turun hujan. Setibanya di halte, Vino jadi basah kuyub. “Dasar sial !”, umpatnya. Vino akhirnya berdiri mematung di halte sambil menunggu hujan berhenti. Matanya melihat mobil yang lalu lalang dan…mata jaya berhenti pada sebuah SMA, sekolahan yang berada tepat di seberang halte tempat Vino berdiri. “Jadi….”, gumamnya.
“Ayolah Vin, masa kamu nggak berani, kamu kan akrab sama dia?” paksa Andi.
“Iya nih. Kita kan cuma main-main 50 ribu, bo!” sambung Edo.
“50 ribu sih lumayan tapi dia bisa marah kalo….” Vino tidak melanjutkan kata-katanya karena sasaran yang mereka bicarakan datang bersama rombongannya. Andi, Edo, Koko, dan Desta spontan mendorong Vino agar mendekati sasarannya. “Aduh semestinya aku nggak ikutan taruhan sama kalian”, protes Vino.
“Hei kita berempat ini udah pada ditolak sama dia, sekarang cuma kamu yang belum mencoba”, ujar Koko sambil menepuk pundak Vino. Tapi belum sempat Vino menghampiri Chika, cewek itu malah memanggilnya duluan.
“Vin, pulang bareng yuk?” tawar Chika. Memang kebetulan rumah Chika dan Vino berdekatan.
“Tapi kan masih hujan, Chik”, sahut Vino agak gugup karena teman-temannya bersorak-sorak tak jauh dari tempat Vino berdiri.
“Kalo nungguin hujan bakalan lama, Vin. Udah yuk!”, Chika kemudian langsung menarik tangan Vino berlari meninggalkan halte bus. Vino dan Chika berlari diantara hujan deras yang menerpa, dalam sekejap mereka berdua tampak basah kuyub. Akhirnya, karena terlalu lelah berlari mereka berhenti di sebuah pohon di persimpangan jalan kompleks rumah megah. Di pohon itu mereka melepaskan lelah walaupun hujan masih membasahi mereka berdua. “Kamu nggak takut sakit nantinya?”, Vino membuka pembicaraan sembari menatap wajah Chika lekat-lekat.
“Kalau sakitnya bareng sama kamu, aku rela kok”, sahut Chika sambil tersenyum. Ada yang berdesir di hati Vino. Vino merasa ia benar-benar menyukai gadis di depannya ini dan bukan karena taruhan itu.
“Kamu tahu nggak Chik, kalo kamu lagi basah kuyub gini, kamu tambah cantik deh!”, Vino menepiskan jauh-jauh pikirannya dan taruhan itu. Yang ia lakukan sekarang adalah yang sebenarnya yang ada dilubuk hatinya. Chika tersenyum, “Ah kamu ngeledek ya?”.
“Nggak kok, aku bener-bener suka sama kamu”, Vino memegangi tangan Chika dengan eratnya.
“Apa kamu juga suka sama aku Chik?”, lanjut Vino bertanya. Ada rasa takut di hati Vino, rasa takut akan penolakan. Dunia akan runtuh kalau Chika menolaknya karena dialah cinta pertama Vino. Tapi bukankah kalau ditolak lebih baik untuk menghindari masalah. “Oh…tidak”, Chika diam sebentar, ia memandangi Vino tanpa berkedip. Lalu tertawa “Ini konyol!”, ucapnya.
Vino mendadak gelisah, mungkinkah cintanya terbalas. “Kamu tahu aku bener-bener suka sama kamu sejak pertama bertemu apalagi waktu aku tahu rumah kita berdekatan. Waktu itu aku ragu apakah perasaan ini hanya sesaat saja tapi itu tetap ada sampai sekarang”, lanjut Chika mengakui dan mengeluarkan isi hatinya. Wajah Vino berubah ceria. Ia terus tertawa dan tertawa karena ia masih tidak percaya.
“Vin, aku pulang dulu ya, ntar malem jangan lupa telepon aku ya!. Jangan lupa Vino !”, teriak Chika berpamitan dan mengingatkan Vino. “Oh Tuhan…apakah ini hanya mimpi?”, pikir Vino.
Sejak saat itu hubungan Vino dan Chika semakin dekat dari mulai telepon-teleponan, jalan bareng dan sampai tukaran foto mereka lakukan. Vino semakin sering datang ke rumah Chika setiap sore. Hingga pada suatu hari semuanya itu hancur berantakan.
“Kamu memang tega, Vino. Kamu udah nyakitin aku. Dimana perasaan kamu selama ini?”, ucap Chika dengan nada marah. Vino semakin tak enak hati. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Akhirnya apa yang ia takutkan terjadi juga.
“Kenapa kamu diam? Dasar pembohong !!!”, maki Chika kesal. Itu terlihat dari wajahnya, ia marah, jengkel, dan kesal setengah mati terhadap Vino.
“Chik, aku bisa jelasin semuanya. Aku sama sekali nggak nyangka bisa begini jadinya. Semua yang aku lakukan itu benar-benar dari hatiku. Aku sama sekali tidak ngebohongi kamu Chik. Percaya deh!”, ujar Vino mencoba bicara.
“Alaa sudahlah. Aku terlanjur sakit, Vin. Kamu tau, kamu udah ngerubah rasa cinta yang aku rasain sekarang menjadi rasa benci. Selamanya aku benci kamu, Vin!”, Chika melangkah mundur. Tak terasa butir-butir beningpun turun dari pelupuk matanya.
“Chik….”
“Aku….benci….kamu, Vin !!!”, Chika kemudian berlari meninggalkan Vino yang terus saja memanggil namanya. Hati Vino bagai teriris melihat Chika menangis.
Vino melempar lima lembar uang 10 ribu di meja kantin. Spontan saja Andi, Edo, Koko, dan Desta yang lagi ngobrol terkejut begitu mereka tahu Vino berdiri disamping mereka dengan wajah penuh amarah.
“Kalian mo ngerjain aku? Sialan, kalian emang nggak bisa pegang janji”, ujar Vino.
“Sorry deh, Vin. Bukan maksud kita buat ngerjain kamu. Waktu itu kita lagi ngobrol disini ngomongin kamu dan taruhan itu. Tadinya kita pikir nggak ada yang denger eh nggak tahunya si Nia sama Dewi lewat. Ya udah, mereka paksa kita ngomong yang sebenernya soal taruhan itu. Maaf deh Vin!”, ujar Andi dan dibarengi dengan yang lainnya meminta maaf pada Vino.
“Maaf kalian itu nggak ada gunanya. Chika udah marah besar sama aku. Aku mesti gimana sekarang ?”
“Ngapain juga dipikirkin. Udahlah…masih banyak cewek kayak dia di luar sana yang mau sama kamu, Vin!” timpal Koko nyantai.
“Eh jaga mulut kamu Ko. Kamu pikir cewek itu makanan apa? Udahlah, ntar kita-kita bakal jelasin sama Chika, gimana kamu setuju, Vin?” ujar Desta menengahi sembari merangkul sobatnya yang sedang putus asa itu.
Chika duduk mematung tepat di depan Vino. Namun, sesekali ia menghela napas panjang, seolah-olah ia ingin mengatakan kalau ia malas bicara dengan Vino, tapi itu tidak membuat Vino mundur, sesekali ia tampak ragu apa Chika akan mengerti dengan penjelasan yang akan ia berikan.
“Ngomong deh Vin. Jangan buang-buang waktu aku!”, seru Chika.
“Aku tau kamu pasti masih kesel sama aku. Aku bisa maklumin itu, cewek mana sih yang mau dijadiin mainan. Mungkin anak-anak udah cerita. Aku sama sekali nggak ada niat buat ikutan taruhan, tapi mereka maksa aku karena mereka tahu kalo aku suka sama kamu dan aku akrab sama kamu, Chik. Terus terang, aku emang terima uangnya dan itu aku kembalikan, aku sama sekali nggak butuh uang taruhan itu sebab aku mendapatkan cinta kamu bukan karena aku menang taruhan tapi karena aku tulus dan bener-bener suka sama kamu dari sini”, Vino memegangi dadanya kemudian melanjutkan bicaranya.
“Kita sobatan udah lama sampe kita deket kayak gini. Kamu mestinya udah tahu gimana aku. Kapan aku boong dan kapan aku jujur. Aku rasa selama ini aku nggak pernah boongin kamu. Aku selalu jujur sama kamu kecuali untuk yang satu ini. Aku cuma pengen kamu nggak perlu tahu soal taruhan ini, jadi lebih baik aku diam dari pada ntar ngebuat kamu marah”, Vino menghela nafasnya, sedangkan Chika masih saja diam.
“Sekarang terserah kamu. Kamu boleh marah, kamu boleh kesel sama aku karena ini memang salah aku. Seharusnya dari awal aku bilang yang sebenernya sama kamu, tapi aku mohon jangan benci aku seperti yang kamu bilang sama aku kemarin. Kalo kamu pengen kita bubur, baiklah, walaupun ada rasa kecewa di hati tapi nggak apa-apa asal kamu mo maafin aku dan nggak benci aku lagi. Toh nantinya kita bisa jadi temen kan?”, ujar Vino panjang lebar penuh rasa bersalah. “Aku minta maaf, Chik”, terakhir kali di mulut Vino. Vino tertunduk lesu, ia tidak berharap banyak dari pengakuannya ini.
“Aku udah maafin kamu, Vin. Kamu tau aku nggak bisa ngebenci kamu. Aku sayang banget sama kamu, Vin. Tapi aku….”, Chika menghentikan kata-katanya. Ada sesuatu yang menahannya untuk tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku cuma minta sikap kamu jangan berubah, Vin. Aku pengen kita selalu kayak gini ampe kapan pun”, Vino mengangguk sembari tersenyum. Ia membawa Chika ke dalam pelukannya.
“Vinonya pergi tuh”, suara perempuan di seberang sana, suara Mamanya Vino yang khas di telinga Chika. Tak asing lagi. “Ada pesen Chik? Ntar kalo Vino pulang Tante sampein” tambah Mama Vino.
“Bilang aja sama Vino, Chika tunggu di rumah, Tante. Kalo bisa sih sekarang”, ujar Chika. Kemudian telepon terputus. “Kamu kemana sih Vin?”, gumam Chika gelisah. Dari tadi Chika kerjanya cuma mondar-mandir ngeliatin keluar jendela tapi sosok yang ditunggunya belum juga menunjukkan batang hidungnya.
“Aduh gimana kalo waktunya tiba. Vino belum nongol juga ampe sekarang”, gumamnya lagi. Chika kembali meraih gagang telepon. Belum sempat Chika memencet nomor telepon yang dituju, Mamanya nongol dari balik pintu. “Ayo Chika, kita udah mo berangkat. Ayo cepetan!”, seru Mamanya. Chika meletakkan kembali gagang telepon ketempatnya. Ia lalu mengambil tasnya dan foto Vino yang berada disamping tasnya. “Maafin aku, Vin. Aku pergi, mungkin suatu saat kita akan bertemu lagi”, Chika memasukkan foto itu ke dalam tasnya dan melangkah keluar menuju mobil. Ada ragu di hatinya untuk pergi, saat itu mata Chika masih saja mengitari jalan, kalau saja sosok yang ditunggunya datang. Tapi hasilnya tetap nihil. “Ayo dong Chik. Cepetan masuk!”, ujar Mamanya yang ngeliat Chika masih berdiri di depan pintu mobil. Chika kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan kota ini. Tak lama kemudian Vino sampai di rumah Chika. Hujan pun mendadak turun ketika Vino sampai di rumah Chika. Belum sempat pintu diketuk, seseorang membuka pintu.
“Lo mas Vino terlambat. Non Chika baru aja berangkat”, Mbok Minten pembantunya Chika memberitahu. Wajah Vino mengguratkan rasa kecewanya.
“Berangkat? Kemana?”, tanya Vino bingung.
“Ke Bandung. Non Chika disuruh Papanya tinggal di tempat neneknya. Dia disuruh Papanya melanjutkan sekolah disana. Tapi Bapak sama Ibu masih tinggal disini”, ujar Mbok Minten. Petir menggelegar memecah sunyi. Sekujur tubuh Vino lesu dan mau roboh tapi Vino tetap bertahan.
“Dia meninggalkan pesan utnuk saya, Mbok? Semacam surat atau apalah?” tanya Vino.
“Nggak tuh. Non Chika berangkatnya mendadak sih. Sedari tadi Non Chika nungguin Mas Vino, tapi Mas Vinonya nggak dateng-dateng juga”.
“Makasih ya Mbok”, Vino berjalan gontai di tengah hujan deras. Vino sama sekali tidak merasa bersemangat. Semangat yang ia rasakan selama ini sudah terbang bersama kepergian Chika. Chikalah semangat Vino. “Kenapa dia pergi? Kenapa dia meninggalkan aku?” pikir Vino.
Walaupun hujan masih turun deras. Vino begitu yakin dengan perasaannya. Ia berfirasat tak lama lagi ia akan bertemu dengan Chika. Itulah yang membuatnya bertahan menunggu dan terus menunggu selama empat tahun.
Deras hujan yang turun
Mengingatkanku pada dirimu
Aku masih disini untu setia
Selang waktu berganti
Aku tak tahu engkau dimana
Tapi aku mencoba untuk setia
Sesaat malam datang
Menjemput kesendirianku
Dan bila pagi datang ku tahu
Kau tak disampingku
Aku masih disini untuk setia

Empat tahun berlalu…..
Vino berhenti pada sebuah pohon di persimpangan jalan kompleks rumahnya. Ia duduk bersandar di balik pohon itu. Pohon yang banyak mengingatkannya akan kenangan lama. Vino mengusap wajahnya yang basah. “Aku selalu setia disini”, ucapnya. Tapi semua itu buyar ketika dia mendengar suara seseorang mengeluh tak jauh dari tempatnya bersandar. Dari balik pohon yang besar itu Vino mengintip, karena pikirnya tak biasa orang mau berteduh di bawah pohon ini kecuali…..Diperhatikannya orang itu dari bawah sampai atas. Yah, dia tidak asing lagi bagi Vino. “Kamu nggak takut ntar sakit?”, sapa Vino yang kemudian keluar dari balik pohon itu. Gadis itu terkejut seakan tak percaya, lalu ia tersenyum. Oh senyum yang sudah sangat dirindukan Vino selama empat tahun ini. Senyum manis Chika. “Vino….”, panggil Chika seakan tak percaya. Vino mendekati Chika dan menggenggam tangan Chika erat-erat.
“Kamu tahu aku nggak akan ngelepasin kamu lagi dan aku nggak akan biarin kamu pergi ninggalin aku lagi”, ujar Vino sambil menatap Chika lekat-lekat. Chika hanya bisa tersenyum dan kemudian memeluk sosok yang telah ia rindukan selama empat tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar