Nama : Ira Febrianti
Antara Aku dan Abel
Aku sudah lama mengenal Abel lama sekali, sejak SMP, eh SD, ah atau mungkin sejak aku lahir, karena Abel selalu ada untukku, selalu menemani aku, tempat aku mengadu, tertawa bersama bahkan saat aku ada masalah Abel-lah yang pertama kali tahu.
Hingga suatu hari Abel harus pergi, dia lulus SMPTN dengan angka luar biasa. Itulah yang aku kagumi dari Abel. Dia pintar, cakep dan selalu perhatian, dan dia tak pernah bisa melihatku menangis. Dia telah menjadi bagian hidupku. Mulanya aku senang karena Abel berhasil lolos di Fakultas Psikologi yang sangat diimpikannya. Tapi aku terpana ketika tahu universitas mana yang berhasil dimasukinya.
“Mengapa harus jauh-jauh di Pekanbaru? Mengapa tak di sini saja, apa sih kurangnya Jogja buat kamu?” Kutatap matanya yang terus saja memancarkan girang.
“Witri, di manapun tempat kuliah itu sama saja! Jogja, Pekanbaru. Tinggal kita nya aja kok….” Jawabnya.
“Tapi….”
“Percayalah, aku baik-baik saja di sana!” Potongnya
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.
“Tak akan pernah Witri! Mana mungkin aku bisa melupakan anak manja dan cengeng sepertimu….”
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku
Dia tertawa dan terus mengejarku, selalu saja begitu. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali, sementara senja bergulir perlahan, tempiasan sinarnya memantul di permukaan telaga. Liburan kali ini seperti juga liburan kemarin selalu saja dihabiskan di tempat ini, di Telaga Sarangan, tapi kami tak pernah bosan. Bahkan ketika liburan tahun sebelumnya Romo mengajakku ke Rotterdam mengunjungi Oom Peter, Aku sedih sekali tak bisa ke Sarangan bersama Abel.
“Jangan menangis gitu dong, Witri! Jogja-Pekanbaru itu nggak jauh kok, aku kan bisa telpon kamu. Ayo se-nyum! Masa jagoan cengeng…” Ejek Bintang ketika aku mengantar kepergiannya di Bandara.
Aku mencoba tersenyum, kamu nggak tahu Abel, Meskipun aku bisa telpon kamu seharian pun tetap beda kalau kamu tak ada di dekatku, kamu nggak bisa temani aku ke Perpustakaan lagi, jalan-jalan ke Malioboro, ke Alun alun atau ke Sarangan, nggak bisa lagi!
***
Satu tahun terakhir Abel mulai jarang menghubungiku, ketika kutanyakan dia hanya menjawab “sibuk.” Sibuk berorganisasi-lah, sibuk kuliah, dan segala macam alasannya. Aku maklum, aku percaya Abel tak pernah bohong padaku.
Dua tahun di awal, Abel tak pernah menghubungiku lagi. Telpon kost-nya ketika kuhubungi diangkat temannya, dan dari temannya kutahu Abel sudah pindah. Handphone-nya tak pernah aktif. Lalu kutulis surat lewat email, lama sekali baru dibalas.
“Dear Witri…
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Abel tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Abel tak pernah membalas emailku.
Hari-hari menjelang UN makin dekat, sejenak Abel terlupakan, sebagai gantinya tiap malam sebelum tidur aku memandangi bintang-bintang di langit, menumpahkan semua sedih, perih dan juga rindu. Aku selalu berharap bintang-bintang itu menyampaikan keluh kesahku pada Abelku yang selalu saja sibuk.
“Mungkin kamu mencintai Abel, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Abel.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.
“Kamu membohongi diri sendiri kalau bilang nggak cinta sama Abel!” lanjut Luna.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Abel! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Abel. Abel sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.
Seruling bambu
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Abel telah melupakanku? Mengapa?
***
Hasil kerja kerasku selama hampir dua tahun penuh tak sia-sia, aku lulus UN dengan nilai menakjubkan. Romo dan Ibu bangga padaku, semua mengucapkan selamat padaku, bahkan Oom Peter menawariku kuliah di negerinya. Tapi aku menolak, sama halnya ketika aku ditawari beasiswa di berbagai PTN atau New Orleans, (untuk tawaran yang satu ini aku tak pernah memberitahu Romo dan Ibu, karena aku yakin beliau pasti marah jika tahu aku menolak beasiswa dari sebuah Universitas ternama di New Orleans.) Sebenarnya ini kesempatan langka, tapi aku sudah punya rencana sendiri,dan saat kuutarakan pada Romo aku membuat beliau marah dan kecewa.
“Apa!! Pekanbaru? Lebih baik kamu masuk UI saja!“ kata Romo
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.
Begitulah kutinggalkan Romo dan Ibu, aku ingin mengejar mimpiku, aku ingin mencari Abel. Pekanbaru adalah hal baru bagiku tapi aku yakin akan menemukan Abel dan bisa bersama-sama dengan Abel lagi. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama dengan beberapa mahasiswa dari berbagai kota dan daerah. Akhir-akhir ini aku dekat dengan seorang mahasiswi sebuah Universitas Negeri asal Medan, kak Tria.
“Nda, kenapa sih kamarmu penuh dengan segala macam benda dan hiasan bintang? kamu suka sama bintang?“ tanyanya suatu hari.
Aku memandang semua barang-barang itu, mulai dari bantal yang berbentuk bintang, stiker-stiker bintang, jam berbentuk bintang, selimut dan sprei yang bergambar bintang, handuk dengan motif bintang, gantungan kunci, mang-kuk berbentuk bintang dan gelas dengan hiasan bintang, dinding bercat dengan gambar bintang, buku, kotak sabun, kotak pensil, lemari semua penuh dengan segala macam tentang bintang.
“Aku terobsesi dengan Abel, kak. Aku ingin selalu dekat dengannya dan ingin memilikinya, karena dia juga suka bintang“
“Kakak juga suka Bintang, Nda, karena cowok kakak juga suka banget ma bintang.
“Orang? Maksud kakak? Kakak kenal Abel?“ tanyaku.
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Abel kah?
***
Aku memandang mereka dari kejauhan, kak Tria bergandengan dengan seseorang, dan rasanya aku sangat mengenalnya.
“Nda, ini Abel, pacar kakak. Abel, ini Nanda, adik yang tinggal serumah denganku…“ Kak Tria memamerkan senyum lesung pipitnya.
Aku tak mampu mengulurkan tangan, tubuhku beku, aku ingin memeluknya, menumpahkan semua rindu yang ada, tapi tak bisa, ada kak Tria yang memegang lengannya erat.
“Witri…apa kabar? Tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu…“ ucap Abel. Aku tersenyum kecut. Kamu jahat, Abel! Kamu melupakan aku, dan sekarang tak ada sedikit pun ucapan maafku untukmu, umpatku dalam hati.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.
Namaku Witri Ananda, seorang gadis bodoh yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tak pasti, mengharap seseorang tanpa mau mengakui perasa-annya sendiri. Uh… Abel takkan pernah tahu perasaanku, dia pasti menganggapku hanya sebagai teman atau adiknya karena aku tak pernah berani jujur padanya tentang semua ini. Aku kecewa dengan pertemuanku dengan Abel. Aku sedih, Abel telah menjadi milik orang lain. Tapi biarlah aku mengabadikan hadirmu melalui bentuk-bentuk abstrakmu, Abel. Biarkan aku mencintaimu dari jauh, hingga perlahan rasa itu reda.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar