DIA TAK PERNAH TAHU
Oleh: ROSITA DEWI
Sudah hampir satu minggu aku mengenal laki-laki yang bernama “Nanda”. Namun, biarpun begitu, untuk bertatap muka atau bertemu itu tidak pernah terjadi antara aku dan dia. Perkenalan pun terjadi begitu saja. Aku tak berpikir untuk mengenalnya lebih dekat. Dan pada akhirnya, Nanda mengajakku bertemu, yang dipesankan lewat temannya. Satu minggu pun berlalu begitu saja.
Pada suatu saat….
“Dies, kamu nunggu siapa sih?”, tanya Vero heran. Aku tetap saja diam dan terus menunggu. Hampir setengah jam aku menunggu, hingga aku berpikir kalau dia tak akan datang. Dan tiba-tiba dari belakangku, dia menghampiriku. Aku pun terkejut, dan dia langsung menyapaku.
“Hai….”, sapanya. Aku terdiam.
“Hai….., kamu Gladies kan….?”, tanya Nanda.
“Gimana kalo kita pulang bareng aja?”, tawar Nanda padaku.
Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan pulang. Sepanjang jalan aku berusaha berinteraksi dengannya dan mengajaknya bicara, walaupun hatiku saat itu penuh rasa tak menentu.
Kemarin itu adalah awal pertemuanku dengan Nanda. Rupanya Nanda anak yang baik dan juga manis. Malamnya, sebelum tidur aku selalu mengingat wajahnya, dan dari ruang tamu, aku mendengar suara telepon berdering. Aku buru-buru mengangkatnya, aku terkejut setelah ku dengar suara yang berbicara, ternyata itu Nanda. Kami pun bicara panjang lebar, dan pada kesimpulan pembicaraan kami di telepon, Nanda mengajakku untuk berteman yaitu teman yang sangat spesial. Aku tidak bisa menjawabnya pada saat itu, tapi Nanda siap menunggu jawabanku esok.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Nanda meneleponku kembali. Rupanya, Nanda meminta jawaban tentang pertanyaannya kemarin. Aku berpikir sejenak, lalu aku pun menerima untuk menjadi pacarnya dengan senang hati.
Hari - kehari, waktu pun berlalu dan hubungan kami hanya berjalan melalui komunikasi telepon saja. Aku menyadari kalau kami sibuk dengan urusan sekolah masing-masing, di sekolah aku berusaha mengajaknya bertemu, namun pertemuan itu berlalu dengan cepat karena hanya pada saat jam istirahat. Aku tak tahu siapa sebenarnya Nanda itu, perasaanku hanya sebatas memiliki hubungan kekasih, aku selalu merasakan hal tersebut, tapi aku selalu percaya rasa cintanya melebihi apa yang aku rasakan.
Siang itu aku berada di rumah temanku. Begitulah kegiatanku di saat hari libur tiba, dan aku menyempatkan diri untuk menelpon Nanda. Kebetulan sekali, Nanda berada di rumah, obrolan demi obrolan terus mengalir, seperti halnya orang yang menjalin hubungan baik. Dan Nanda memberikan perhatiannya padaku. Aku merasa lega dan senang mendapatkan perhatian dari Nanda.
“Dies, habis nelpon Nanda ya?”, ledek Caca padaku.
Begitulah, aku selalu mengelak dari tebakan teman-temanku. Dari sekian banyak temanku, Caca lah yang paling dekat denganku. Dan tiba-tiba, Nanda menjemputku, aku tidak suka itu. Ternyata, Caca lah yang menelpon Nanda untuk menjemputku.
“Nanda !”, kagetku. “Kamu…? Aku kan nggak minta dijemput, ini kerjaan Caca lho”, ujarku padanya.
“Nggak apa-apakan”, jawab Nanda.
Saat itu aku benar-benar kesal. Aku tahu Nanda sangat perhatian padaku, tapi apa yang ia lakukan salah satu hal yang nggak aku suka. Dan akhirnya, sore pun tiba, aku pulang bersama Nanda. Masih dengan rasa kekesalan yang aku rasakan, sepanjang perjalanan aku hanya diam, setiap perkataan Nanda ku biarkan seperti air yang mengalir.
Lagi-lagi rasa kekesalanku bertambah pada Nanda, ketika Nanda bersikeras untuk mengantarku sampai ke depan rumah. Aku tetap mengelak masih dengan pendirianku sebelumnya. Dan akhirnya, Nanda marah padaku. Nanda melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, yang tak memperdulikan perasaanku saat ini.
Ternyata kemarahan Nanda benar-benar memuncak. Sejak kejadian itu Nanda absen menelponku. Tiga hari berlalu aku tak tahu tentang beritanya, aku resah, kemarahannya membuatku tak mengerti. Saaat itu aku sadar kalo aku yang salah, tapi aku tak kuasa melakukan itu. Dan aku merasa kalo Nanda nggak akan mau menerima telepon dari ku lagi. Saat itu terlintas dalam pikiranku untuk mengetes perasaannya padaku, suatu keputusan yang tak pernah terlintas di dalam pikiranku benar-benar terjadi.
“Nanda, beberapa hari ini udah aku pikrin baik-baik. Ternyata aku nggak bisa bener-bener mengerti kamu. Nanda, lebih baik kita jadi teman aja ya. Mungkin itu lebih baik, aku harap kamu nggak marah”.
Kata-kata itu ku kirim lewat sms, dan nggak berapa lama apa yang aku dapatkan. Nanda nerima begitu aja, dia menerima keputusanku tanpa bertanya apakah itu keputusan terakhirku. Ternyata apa yang aku pikirin tentangnya jauh dari keinginanku. Semua yang dia rasain hanya sebatas kekesalan saja, aku sadar semua udah berakhir, dan aku nggak bisa berkata-kata lagi. Jawabannya udah begitu jelas buat aku. Biarlah dia nggak pernah tau tentang semuanya.
*TAMAT*
Rabu, 14 Juli 2010
RAHASIA HATI
RAHASIA HATI
Oleh: ROSITA DEWI
“Salahku yang tak mengerti arti dari kenyataan hidup. Kau bukan untukku, aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, perasaan yang seperti ini membuat hidupku menjadi tak tenang”, kata Agnes yang sedang aktif dengan komputernya sambil memandangi fotonya.
“Hai, Agnes. Lagi ngapain?”, suara Dimas sahabat kecilnya Agnes yang mengagetkan Agnes.
“Ah nggak…., aku nggak lagi ngapa-ngapain kok ! Kamu ini kayak tuyul aja tiba-tiba ada dalam kamar aku”, kata Agnes sambil memutar kursinya.
“Kalo nggak lagi apa-apa, kenapa aku ketok pintu kamar kamu, kamunya diem aja, kamu ngelamun ya?”, tanya Dimas sambil mengambil gitar.
“Dim, sampe kapan aku harus bersabar. Aku ngeharapin banget dia jadi milik aku !!! Kamu tahu kan aku suka banget sama dia sejak tiga tahun lalu. Setiap pulang sekolah aku sering banget liat dia jalan sama pacarnya, dan mereka keliatan mesra banget. Dimaasssss…kamu denger nggak sih aku ngomong….?!!!”, ujar Agnes sambil melemparkan pensil ke arah Dimas.
“Apa-apaan sih, sakit tau! Aku dengerin kok!”, jawab Dimas. “Kamu sabar aja deh, Nes. Siapa tahu ntar dia putusan sama pacarnya dan dia pasti bisa jadi milik kamu”, ucap Dimas meyakinkan Agnes.
“Agnes…, nih Kak Alda udah datang. Kamu latihan piano dulu. Main-main sama Dimas ntar disambung lagi aja”, kata Mamanya di depan pintu kamarnya.
“Iya Ma”, jawab Agnes sambil bersiap dan turun. “Sampe ketemu besok yak, Dim. Da…da…Makasih nasehatnya yak”, kata Agnes pada Dimas.
Di sekolah Agnes langsung masuk kelas dan duduk. Tak lama kemudian suara Egi pun terdengar memanggil Agnes.
“Agnes…..! Kamu dipanggil sama Dimas, dia ada di perpustakaan sekarang”, kata Egi.
“Oh iiii…ya, makasih yak Gi”, jawab Agnes dengan gugup.
“Dimasss, apa-apaan sih kamu? Kamu sengaja nyuruh Egi buat manggilin aku yak?”, tanya Agnes.
“Iya, tapi kamu suka kan?”, jawab Dimas sambil ngeledek Agnes.
“Suka sih pasti, tapi aku kaget dan selalu nggak PeDe kalo di depan dia!”, ujar Agnes.
“Kenapa harus nggak PeDe, kamu cantik, pintar, terus apa lagi yang kurang? Emang sih…kamu ada kekurangan!”. jawab Dimas lagi.
“Apa kekurangan aku…?”, tanya Agnes.
“Kekurangan kamu adalah suka menyia-nyiakan kesempatan. Seharusnya kamu ajak Egi ngobrol, kan nggak ada salahnya kalo kamu minta dia nemenin kamu ke perpus tadi. Toh kamu udah lumayan dekat”, jawab Dimas.
“ Iya emang, tapi gimana mau minta dia nemenin aku kesini tadi? Dia kan udah punya pacar ntar takutnya pacarnya marah lagi”, jawab Agnes.
“Kamu tahu kan kalo belum nikah, kan masih milik bersama”, ujar Dimas sambil berjalan pergi meninggalkan Agnes sendirian di perpus.
Nggak lama, Egi datang mendekati Agnes. Dan……
“Hai Nes, lagi baca buku ya?”, tanya Egi. “Aku kesini bukan buat baca buku atau cari buku, kan katanya kamu yang manggil aku kesini?”, ujar Egi.
Iya, aku tahu, jawab Agnes dalam hati. Ini pasti kerjaannya Dimas. Dasar, kalo mo bikin rencana bilang dulu, jadi nggak kayak gini kejadiannya.
“Hallo…, kok malah ngelamun sih…!”, Egi melambaikan tangannya di depan wajah Agnes, dan Agnes pun tersadar dari lamunannya.
“Oh.. Sorry…aku lupa, maklum lagi serius baca buku, jadi aku lupa kalo aku yang nyuruh Dimas buat panggil kamu”, jawab Agnes.
“Oh ya, nyantai aja lagi. Aku nggak marah kok, emangnya ada apa sih? Tumben manggil aku?”, tanya Egi.
“Iya, begini, kamu mo nggak temenin aku beli sesuatu ntar pulang sekolah?”, tanya Agnes.
“Pulang sekolah, kayaknya nggak bisa deh”, jawab Egi. “Soalnya hari ini bertepatan dengan satu tahun kami pacaran. Jadi…sepulang sekolah ini aku mo ngasih kejutan sama pacar aku”, jawab Egi yang sedikit mengecewakan Agnes.
“Kamu sayang banget ya sama pacar kamu itu?”, tanya Agnes sedikit penasaran.
“Iya, tapi kamu juga sayang kan sama Dimas pacar kamu itu?”, Egi balik bertanya.
“Iya emang, tapi rasa sayang itu nggak lebih dari teman biasa dan kami bukannya sepasang kekasih kok…”, jawab Agnes menjelaskan.
“Oh ya, gimana kalo perginya besok aja, aku jemput kamu di rumah”, tawar Egi.
“Oh nggak usah, aku bisa minta temenin Dimas kok!”, jawab Agnes. Aku nggak mo ngerepotin kamu. Lagi pula aku butuhnya hari ini”, Agnes menolak tawaran Egi.
Sepulang sekolah, Agnes menceritakan semuanya kepada Dimas. Dasar bodoh. Kenapa kamu tolak tawaran Egi?”, gumam Dimas.
“Nggak Dim, udah cukup, aku udah capek dan bosan dengan perasaan ini”, jawab Agnes. Dan Agnes meletakkan kepalanya ke punggung Dimas sambil menangis.
“Ya udah, aku pengen ke Yogya aja, dan aku bakal berusaha melupakan semua ini. Lagipula tante aku ngajak ke Yogya dan tinggal sama dia”, ujar Agnes.
“Siapa yang mau curhat dan nemenin aku lagi?”, tanya Dimas dengan perasaan tak rela.
“Ya kan ada telpon, aku bisa menghubungi kamu lewat telpon aja, kita masih bisa curhat kok”, jawab Agnes. “Dimas…., cuma ini salah satu jalan menuju gerbang kebahagiaan hidupku dan buat menutup kesedihanku. Dimas, aku juga nggak mau kehilangan kamu tapi ini jalan terbaik buat aku”, ucap Agnes.
“Agnes…, kalo emang di Yogya bisa buat kamu bahagia, aku akan sepenuh hati untuk membantu kamu mengurus kepindahan sekolah”, jawab Dimas dengan memelas.
Keesokan harinya di sekolah, Dimas mengurus semua surat-surat pindah Agnes, sedangkan Agnes duduk melamun di bangku kelas. Dalam hatinya, Agnes sangat berat hati meninggalkan kedua orang yang sangat ia sayangi, yaitu Dimas yang udah dianggepnya kayak kakaknya sendiri dan Egi yang sudah lama ia taksir.
“Agnes, ini surat pindahmu”, kata Dimas sambil memberikan surat.
Besoknya, Agnes berkata kepada Dimas, “Dim, mau nggak kamu nolongin aku?”
“Iya, apa yang bisa aku bantu?”, jawab Dimas.
“Tolong kasih surat ini sama Egi ya, dan sampein salam maaf aku sama dia”, ujar Agnes dengan wajah yang sendu.
“Agnes, aku pengen ngomong sesuatu yang selama ini aku simpan, tapi berhubung kita nggak bakalan ketemu lagi maka aku sekarang akan mencoba untuk berani mengatakannya sama kamu. Jujur, aku emang suka cemburu dan aku sangat rindu sama kamu. Aku nggak bisa melakukan yang seharusnya aku lakukan”, Dimas menatap Agnes.
Dari kejauhan Egi berteriak, “Dimas, kenapa kamu nggak pernah bilang kalo Agnes suka sama aku?!”.
“Itu nggak penting, lagipula Agnes nggak mau merusak hubungan kamu dengan pacar kamu. Dan yang Agnes mau dari kamu cuma senyuman kamu dan pengertian kamu aja. Memang cinta nggak bisa dipaksain, mungkin kepergiannya ini akan dia bisa menemukan kebahagiaan yang sama dengan apa yang dia berikan”, ujar Dimas menjelaskan.
Dimas, kamu adalah sahabat yang baik”, ucap Egi sambil menepuk bahu Dimas.
“Aku sayang dan mencintainya tapi cintanya itu cuma buat kamu Dimas”, dan Egi pun meninggalkan Dimas.
“Dimasssssssss…, selamat tinggal !”, ucap Agnes dengan senyuman kecil sambil menuju ke dalam mobil yang akan menuju ke Yogya.
Di tempat lain, Dimas memberikan surat Agnes untuk Egi. “Ini surat Agnes buat kamu, Egi”, Dimas pun langsung pergi.
Dengan perasaan senang, Egi membuka surat itu dan langsung membacanya……
Palembang, 29 April 2007
Salam sayang,
Egi, mungkin setelah kamu membaca surat ini aku udah pindah ke Yogya. Maaf kalo aku udah menyita waktu kamu. Maafin aku juga yang selama ini mencuri pandang untuk liat kamu, perhatiin kamu, mikirin kamu, dan semakin sering aku mikirin kamu semakin benci aku sama diri aku sendiri. Nggak tau kenapa perasaan ini ada sama aku, aku juga nggak ngerti, dan mungkin kamu nggak pernah ngerasain perasaan aku ini.
Aku tau kalo emang cinta itu nggak perlu dipaksain. Dan cinta itu nggak harus saling memiliki. Asal kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Kamu udah punya seseorang yang bisa menjadi pendamping kamu, dan bahagia mu adalah bahagiaku.
Tertanda,
-AGNES-
*TAMAT*
Oleh: ROSITA DEWI
“Salahku yang tak mengerti arti dari kenyataan hidup. Kau bukan untukku, aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, perasaan yang seperti ini membuat hidupku menjadi tak tenang”, kata Agnes yang sedang aktif dengan komputernya sambil memandangi fotonya.
“Hai, Agnes. Lagi ngapain?”, suara Dimas sahabat kecilnya Agnes yang mengagetkan Agnes.
“Ah nggak…., aku nggak lagi ngapa-ngapain kok ! Kamu ini kayak tuyul aja tiba-tiba ada dalam kamar aku”, kata Agnes sambil memutar kursinya.
“Kalo nggak lagi apa-apa, kenapa aku ketok pintu kamar kamu, kamunya diem aja, kamu ngelamun ya?”, tanya Dimas sambil mengambil gitar.
“Dim, sampe kapan aku harus bersabar. Aku ngeharapin banget dia jadi milik aku !!! Kamu tahu kan aku suka banget sama dia sejak tiga tahun lalu. Setiap pulang sekolah aku sering banget liat dia jalan sama pacarnya, dan mereka keliatan mesra banget. Dimaasssss…kamu denger nggak sih aku ngomong….?!!!”, ujar Agnes sambil melemparkan pensil ke arah Dimas.
“Apa-apaan sih, sakit tau! Aku dengerin kok!”, jawab Dimas. “Kamu sabar aja deh, Nes. Siapa tahu ntar dia putusan sama pacarnya dan dia pasti bisa jadi milik kamu”, ucap Dimas meyakinkan Agnes.
“Agnes…, nih Kak Alda udah datang. Kamu latihan piano dulu. Main-main sama Dimas ntar disambung lagi aja”, kata Mamanya di depan pintu kamarnya.
“Iya Ma”, jawab Agnes sambil bersiap dan turun. “Sampe ketemu besok yak, Dim. Da…da…Makasih nasehatnya yak”, kata Agnes pada Dimas.
Di sekolah Agnes langsung masuk kelas dan duduk. Tak lama kemudian suara Egi pun terdengar memanggil Agnes.
“Agnes…..! Kamu dipanggil sama Dimas, dia ada di perpustakaan sekarang”, kata Egi.
“Oh iiii…ya, makasih yak Gi”, jawab Agnes dengan gugup.
“Dimasss, apa-apaan sih kamu? Kamu sengaja nyuruh Egi buat manggilin aku yak?”, tanya Agnes.
“Iya, tapi kamu suka kan?”, jawab Dimas sambil ngeledek Agnes.
“Suka sih pasti, tapi aku kaget dan selalu nggak PeDe kalo di depan dia!”, ujar Agnes.
“Kenapa harus nggak PeDe, kamu cantik, pintar, terus apa lagi yang kurang? Emang sih…kamu ada kekurangan!”. jawab Dimas lagi.
“Apa kekurangan aku…?”, tanya Agnes.
“Kekurangan kamu adalah suka menyia-nyiakan kesempatan. Seharusnya kamu ajak Egi ngobrol, kan nggak ada salahnya kalo kamu minta dia nemenin kamu ke perpus tadi. Toh kamu udah lumayan dekat”, jawab Dimas.
“ Iya emang, tapi gimana mau minta dia nemenin aku kesini tadi? Dia kan udah punya pacar ntar takutnya pacarnya marah lagi”, jawab Agnes.
“Kamu tahu kan kalo belum nikah, kan masih milik bersama”, ujar Dimas sambil berjalan pergi meninggalkan Agnes sendirian di perpus.
Nggak lama, Egi datang mendekati Agnes. Dan……
“Hai Nes, lagi baca buku ya?”, tanya Egi. “Aku kesini bukan buat baca buku atau cari buku, kan katanya kamu yang manggil aku kesini?”, ujar Egi.
Iya, aku tahu, jawab Agnes dalam hati. Ini pasti kerjaannya Dimas. Dasar, kalo mo bikin rencana bilang dulu, jadi nggak kayak gini kejadiannya.
“Hallo…, kok malah ngelamun sih…!”, Egi melambaikan tangannya di depan wajah Agnes, dan Agnes pun tersadar dari lamunannya.
“Oh.. Sorry…aku lupa, maklum lagi serius baca buku, jadi aku lupa kalo aku yang nyuruh Dimas buat panggil kamu”, jawab Agnes.
“Oh ya, nyantai aja lagi. Aku nggak marah kok, emangnya ada apa sih? Tumben manggil aku?”, tanya Egi.
“Iya, begini, kamu mo nggak temenin aku beli sesuatu ntar pulang sekolah?”, tanya Agnes.
“Pulang sekolah, kayaknya nggak bisa deh”, jawab Egi. “Soalnya hari ini bertepatan dengan satu tahun kami pacaran. Jadi…sepulang sekolah ini aku mo ngasih kejutan sama pacar aku”, jawab Egi yang sedikit mengecewakan Agnes.
“Kamu sayang banget ya sama pacar kamu itu?”, tanya Agnes sedikit penasaran.
“Iya, tapi kamu juga sayang kan sama Dimas pacar kamu itu?”, Egi balik bertanya.
“Iya emang, tapi rasa sayang itu nggak lebih dari teman biasa dan kami bukannya sepasang kekasih kok…”, jawab Agnes menjelaskan.
“Oh ya, gimana kalo perginya besok aja, aku jemput kamu di rumah”, tawar Egi.
“Oh nggak usah, aku bisa minta temenin Dimas kok!”, jawab Agnes. Aku nggak mo ngerepotin kamu. Lagi pula aku butuhnya hari ini”, Agnes menolak tawaran Egi.
Sepulang sekolah, Agnes menceritakan semuanya kepada Dimas. Dasar bodoh. Kenapa kamu tolak tawaran Egi?”, gumam Dimas.
“Nggak Dim, udah cukup, aku udah capek dan bosan dengan perasaan ini”, jawab Agnes. Dan Agnes meletakkan kepalanya ke punggung Dimas sambil menangis.
“Ya udah, aku pengen ke Yogya aja, dan aku bakal berusaha melupakan semua ini. Lagipula tante aku ngajak ke Yogya dan tinggal sama dia”, ujar Agnes.
“Siapa yang mau curhat dan nemenin aku lagi?”, tanya Dimas dengan perasaan tak rela.
“Ya kan ada telpon, aku bisa menghubungi kamu lewat telpon aja, kita masih bisa curhat kok”, jawab Agnes. “Dimas…., cuma ini salah satu jalan menuju gerbang kebahagiaan hidupku dan buat menutup kesedihanku. Dimas, aku juga nggak mau kehilangan kamu tapi ini jalan terbaik buat aku”, ucap Agnes.
“Agnes…, kalo emang di Yogya bisa buat kamu bahagia, aku akan sepenuh hati untuk membantu kamu mengurus kepindahan sekolah”, jawab Dimas dengan memelas.
Keesokan harinya di sekolah, Dimas mengurus semua surat-surat pindah Agnes, sedangkan Agnes duduk melamun di bangku kelas. Dalam hatinya, Agnes sangat berat hati meninggalkan kedua orang yang sangat ia sayangi, yaitu Dimas yang udah dianggepnya kayak kakaknya sendiri dan Egi yang sudah lama ia taksir.
“Agnes, ini surat pindahmu”, kata Dimas sambil memberikan surat.
Besoknya, Agnes berkata kepada Dimas, “Dim, mau nggak kamu nolongin aku?”
“Iya, apa yang bisa aku bantu?”, jawab Dimas.
“Tolong kasih surat ini sama Egi ya, dan sampein salam maaf aku sama dia”, ujar Agnes dengan wajah yang sendu.
“Agnes, aku pengen ngomong sesuatu yang selama ini aku simpan, tapi berhubung kita nggak bakalan ketemu lagi maka aku sekarang akan mencoba untuk berani mengatakannya sama kamu. Jujur, aku emang suka cemburu dan aku sangat rindu sama kamu. Aku nggak bisa melakukan yang seharusnya aku lakukan”, Dimas menatap Agnes.
Dari kejauhan Egi berteriak, “Dimas, kenapa kamu nggak pernah bilang kalo Agnes suka sama aku?!”.
“Itu nggak penting, lagipula Agnes nggak mau merusak hubungan kamu dengan pacar kamu. Dan yang Agnes mau dari kamu cuma senyuman kamu dan pengertian kamu aja. Memang cinta nggak bisa dipaksain, mungkin kepergiannya ini akan dia bisa menemukan kebahagiaan yang sama dengan apa yang dia berikan”, ujar Dimas menjelaskan.
Dimas, kamu adalah sahabat yang baik”, ucap Egi sambil menepuk bahu Dimas.
“Aku sayang dan mencintainya tapi cintanya itu cuma buat kamu Dimas”, dan Egi pun meninggalkan Dimas.
“Dimasssssssss…, selamat tinggal !”, ucap Agnes dengan senyuman kecil sambil menuju ke dalam mobil yang akan menuju ke Yogya.
Di tempat lain, Dimas memberikan surat Agnes untuk Egi. “Ini surat Agnes buat kamu, Egi”, Dimas pun langsung pergi.
Dengan perasaan senang, Egi membuka surat itu dan langsung membacanya……
Palembang, 29 April 2007
Salam sayang,
Egi, mungkin setelah kamu membaca surat ini aku udah pindah ke Yogya. Maaf kalo aku udah menyita waktu kamu. Maafin aku juga yang selama ini mencuri pandang untuk liat kamu, perhatiin kamu, mikirin kamu, dan semakin sering aku mikirin kamu semakin benci aku sama diri aku sendiri. Nggak tau kenapa perasaan ini ada sama aku, aku juga nggak ngerti, dan mungkin kamu nggak pernah ngerasain perasaan aku ini.
Aku tau kalo emang cinta itu nggak perlu dipaksain. Dan cinta itu nggak harus saling memiliki. Asal kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Kamu udah punya seseorang yang bisa menjadi pendamping kamu, dan bahagia mu adalah bahagiaku.
Tertanda,
-AGNES-
*TAMAT*
C I N T A
C I N T A
Oleh: ROSITA DEWI
Cinta….
Bisa membuat aku tersenyum
Membuat aku tertawa
Membuat aku ceria
Tapi cinta juga bisa….
Membuat aku sedih
Membuat aku bingung
Membuat aku menangis
Cinta….
Aku tak pernah bisa
Melihatnya, merabanya
Aku hanya bisa rasakan
Getaran yang ku sebut cinta
Cinta adalah hal yang terindah
Yang bisa diberikan oleh hidup
Karena betapapun menyedihkan
Betapapun menyakitkan
Ia tetap bernama cinta
Cinta….
Satu kata berjuta makna
Oleh: ROSITA DEWI
Cinta….
Bisa membuat aku tersenyum
Membuat aku tertawa
Membuat aku ceria
Tapi cinta juga bisa….
Membuat aku sedih
Membuat aku bingung
Membuat aku menangis
Cinta….
Aku tak pernah bisa
Melihatnya, merabanya
Aku hanya bisa rasakan
Getaran yang ku sebut cinta
Cinta adalah hal yang terindah
Yang bisa diberikan oleh hidup
Karena betapapun menyedihkan
Betapapun menyakitkan
Ia tetap bernama cinta
Cinta….
Satu kata berjuta makna
CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI
CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI
Oleh: ira
Ade dan Ria sama-sama siswa SMP. Mereka duduk di bangku sekolah kelas tiga. Ade kelas tiga satu sedangkan Ria kelas tiga dua. Mereka sama-sama siswa yang pandai setiap pembagian buku rapor mereka mendapat juara pertama di masing-masing kelas mereka. Dengan kepandaian mereka, mereka saling mengagumi. Walaupan mereka pandai tapi mereka tidak sombong, mereka mau mangajari temaan-teman yang lain apabila temannya mengalami kesulitan dalam belajar. Ade dan ria juga sering belajar bersama, di rumah Ria. Orang tua Ria juga senang melihat anak nya rajin belajar, disamping itu orang tua ria juga senang melihat Ade karena Ade anak yang sopan.
Menilai Ria wanita yang baik dan pintar, akhirnya mereka berpacaran. Agar saling memotivasi dalam belajar. Orang tua Ria tidak melarang status mereka, tetapi Orang tua Ria tidak lupa menasehati keduanya. Keduanya sangat senang. Berhubung sudah kelas tiga mereka akan melaksanakan UN, untuk menentukan lulus atau tidaknya mereka dari SMP. Sebelum Un tiba mereka belajar bersama.
Saat itu UN tiba selama tiga hari, kemudian di susul dengan US dan ujian praktek. Setelah semua ujian selesai, pengumuman kelulusan di adakan dua minggu lagi. Sambil menunggu pengumuman mereka hanya datang-datang saja kesekolah. Mereka bercerita-cerita di bawah pohon belakang kelad Ade, tiba-tiba Ria bertanya “ De lulus SMP mo SMA dimana ?”. Dengan wajah cemberut Ade menjawab “padang”. Mendengar jawaban Ade, Ria langsung berkata “apa ?”. ade langsung menatap Ria dengan wajah sedih dan berkata “ia saya SMA di padang, karena kami sekelurga semuanya mau pulang kampung”. Mendengar kata-kata itu Ria kelihatan lesu, Ade menatap Ria dengan wajah sedih pula.
Lalu Ade mengelus-elus kepala Ria, dan berkata “udah, jangan sedih dung. Ayo senyum. Lagi pula kita masih banyak waktu untuk bersama”. Ria tetap diam, dia merasa sedih hingga air mata nya keluar membayangkan perpisahan mereka. sebenarnya Ade juga merasaka kesedihan yang dialami oleh Ria tetapi Ade tidak menampakkan nya, dia tetap menghibur Ria “udah jangan sedih nanti kalau libur saya main kok kerumah Ria”. Tiba-tiba Ria tersenyun dan berkata “ janji ya”. Ade “iya janji”.
Dua minggu kemudian mereka pengumuman, semua siswa di nyatakan lulus seratus persen. Semua siswa merasa gembira. Mereka melakukan aksi corat-coret baju sekolah walaupun hal itu di larang oleh sekolah. Dua hari kemudian diadakan perpisahan sekolah. Semua siswa merasa senang. Ade dan Ria foto-foto berdua dan mengajak teman-teman lainnya. Acara perpisahan usai, keesokan hari nya tidak ada siswa kelas tiga yang dating kesekolah termasuk Ade dan Ria.
Siang itu Ade datang kerumah Ria untuk pamitan, karena Ade besok mau berangkat ke padang untuk mengurus sekolah nya dan mengikuti tes SMA di padang. Ade menatap Ria dan berkata “mungkin ini pertemuan terakhir kita di masa-masa SMP, karena saya besok pagi langsung berangkat ke padang dan tidak pulang lagi karena saya sudah selesai mengurus surat-surat di SMP kita.” Ria hanya diam dia tidak dapat berkata apa-apa lagi kecuali hanya mengeluarkan air mata. Ade terharu melihat kesedihan Ria, Ria bilang ke Ade “hati-hati ya di jalan, jangan lupa telpon atau sms Ria”. Ade hanya mengagukkan kepala.
Hari da mulai sore Ade pamit pulang tak lupa pula dia pamit sama orang tua nya Ria. Keesokan hari nya Ade sekeluarga berangkat, mau tidak mau Ria harus mengikhlaskan kepergian Ade. Untuk menghibur diri nya Ria bermain dengan teman.
Oleh: ira
Ade dan Ria sama-sama siswa SMP. Mereka duduk di bangku sekolah kelas tiga. Ade kelas tiga satu sedangkan Ria kelas tiga dua. Mereka sama-sama siswa yang pandai setiap pembagian buku rapor mereka mendapat juara pertama di masing-masing kelas mereka. Dengan kepandaian mereka, mereka saling mengagumi. Walaupan mereka pandai tapi mereka tidak sombong, mereka mau mangajari temaan-teman yang lain apabila temannya mengalami kesulitan dalam belajar. Ade dan ria juga sering belajar bersama, di rumah Ria. Orang tua Ria juga senang melihat anak nya rajin belajar, disamping itu orang tua ria juga senang melihat Ade karena Ade anak yang sopan.
Menilai Ria wanita yang baik dan pintar, akhirnya mereka berpacaran. Agar saling memotivasi dalam belajar. Orang tua Ria tidak melarang status mereka, tetapi Orang tua Ria tidak lupa menasehati keduanya. Keduanya sangat senang. Berhubung sudah kelas tiga mereka akan melaksanakan UN, untuk menentukan lulus atau tidaknya mereka dari SMP. Sebelum Un tiba mereka belajar bersama.
Saat itu UN tiba selama tiga hari, kemudian di susul dengan US dan ujian praktek. Setelah semua ujian selesai, pengumuman kelulusan di adakan dua minggu lagi. Sambil menunggu pengumuman mereka hanya datang-datang saja kesekolah. Mereka bercerita-cerita di bawah pohon belakang kelad Ade, tiba-tiba Ria bertanya “ De lulus SMP mo SMA dimana ?”. Dengan wajah cemberut Ade menjawab “padang”. Mendengar jawaban Ade, Ria langsung berkata “apa ?”. ade langsung menatap Ria dengan wajah sedih dan berkata “ia saya SMA di padang, karena kami sekelurga semuanya mau pulang kampung”. Mendengar kata-kata itu Ria kelihatan lesu, Ade menatap Ria dengan wajah sedih pula.
Lalu Ade mengelus-elus kepala Ria, dan berkata “udah, jangan sedih dung. Ayo senyum. Lagi pula kita masih banyak waktu untuk bersama”. Ria tetap diam, dia merasa sedih hingga air mata nya keluar membayangkan perpisahan mereka. sebenarnya Ade juga merasaka kesedihan yang dialami oleh Ria tetapi Ade tidak menampakkan nya, dia tetap menghibur Ria “udah jangan sedih nanti kalau libur saya main kok kerumah Ria”. Tiba-tiba Ria tersenyun dan berkata “ janji ya”. Ade “iya janji”.
Dua minggu kemudian mereka pengumuman, semua siswa di nyatakan lulus seratus persen. Semua siswa merasa gembira. Mereka melakukan aksi corat-coret baju sekolah walaupun hal itu di larang oleh sekolah. Dua hari kemudian diadakan perpisahan sekolah. Semua siswa merasa senang. Ade dan Ria foto-foto berdua dan mengajak teman-teman lainnya. Acara perpisahan usai, keesokan hari nya tidak ada siswa kelas tiga yang dating kesekolah termasuk Ade dan Ria.
Siang itu Ade datang kerumah Ria untuk pamitan, karena Ade besok mau berangkat ke padang untuk mengurus sekolah nya dan mengikuti tes SMA di padang. Ade menatap Ria dan berkata “mungkin ini pertemuan terakhir kita di masa-masa SMP, karena saya besok pagi langsung berangkat ke padang dan tidak pulang lagi karena saya sudah selesai mengurus surat-surat di SMP kita.” Ria hanya diam dia tidak dapat berkata apa-apa lagi kecuali hanya mengeluarkan air mata. Ade terharu melihat kesedihan Ria, Ria bilang ke Ade “hati-hati ya di jalan, jangan lupa telpon atau sms Ria”. Ade hanya mengagukkan kepala.
Hari da mulai sore Ade pamit pulang tak lupa pula dia pamit sama orang tua nya Ria. Keesokan hari nya Ade sekeluarga berangkat, mau tidak mau Ria harus mengikhlaskan kepergian Ade. Untuk menghibur diri nya Ria bermain dengan teman.
CINTA TAK DI RESTUI
CINTA TAK DI RESTUI
Oleh: ira
Chintya nama nya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Saat itu chintya duduk di sekolah kelas tiga SMA. Chintya di larang oleh kedua orang tua nya untuk berpacaran selama dia masih di bangku sekolah, apalagi berpacaran dengan orang yang tidak jelas asal-usul nya dan tidak berpendidikan. Saat itu liburan semester tiba tak jauh dari rumah nya ada acara pasar malam, chintya mengajak temannya Desy pergi ke pasar malam itu. Disitu chintya dan Dessy melihat-lihat permainan yang ada di pasar malam itu, dan mereka juga mengikuti permainan itu.
Setelah selesai mengikuti permainan mereka melanjutkan perjalanan mereka, tanpa sengaja chintya menginjak kaki seorang lelaki. Dengan perasaan kaget chintya langsung berhenti berjalan kaki meminta maaf kepada lelaki tersebut, dan lelaki itu membalasnya hanya dengan senyuman. Desy masih melanjutkan perjalannya dia tidak tahu bahwa Chintya menginjak kaki orang dan dia berhenti di suatu tempat. Tanpa sengaja Desy meninggalkan Chintya dan mereka terpisah saat itu. Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya dan secara tidak langsung mengajak Chinya berkanalan.
Lelaki itu mengeluarkan kata-kata” Bari”, kemudian chintya membalas dengan kata-kata “Chintya”. Tiba-tiba Chintya inget Desy “ nah mana si Desy”, kemudian bari berkata “kesana”. Chintya “ yeah kok aku ditinggal”. Bari “bareng sama aku aja”. Chintya “emang Bari sama siapa”. Bari “sendiri”. Chintya “owh, ya udah”. Akhirnya Bari dan Chintya jalan bareng, waktu sudah malam Chintya ingin pulang dan dia tidak bertemu dengan Desy lagi. Pikir Chintya “Desy mungkin sudah pulang ya Bar karena hari da malam”. Bari “mungkin, Chintya aku ja yang nganter pulang”. Chintya langsung menerima tawaran bari, akhirnya mereka pulang bareng. Ketika Chintya mau masuk ke pintu rumahnya bari memanggil Chintya “Chin boleh minta nomor HP gak?”, Chintya “boleh”. Chintya langsung memberikan nomor HP nya, bari “ thank’s yo”. Kemudian Chintya langsung masuk ke rumahnya.
Tak cukup dari situ, mereka melanjutkan komunikasinya lewat telfon dan sms. Bari bilang ke Chintya bahwa dia sekolah STM di jambi kelas dua. Dia membohongi Cintya padahal dia hanya tamat SD, Chintya percaya dengan kata-kata Bari. Tak lama kemudian mereka berpacaran tapi mereka becstreet. Kalau mereka ingin bertemu mereka bertemu di suatu tempat, Ketika mereka sedang berjalan, mereka berpapasan dengan mama Chintya, Chintya mulai cemas karena dia tadi bilang sama mama nya mau main kerumah Irma sahabatnya. Sepanjang perjalanan Chintya cemas dan bingung, dia memikirkan bagaimana dia pulang kerumah nanti apa yang terjadi padanya karena dia ketahuan bohong dengan mamanya.
Hari da mulai sore Chintya di antarkan bari pulang, tetapi tidak di rumah nya. Bari mengantarkan Chintya pulang jauh dari rumah Chintya karena bari juga merasa takut di marah mama Chintya. Ketika tiba di rumah Chintya di panggil mamanya “ dari mana kak”, Chintya hanya diam. Lalu mama Chintya mulai marah “ kakak mulai bohong ya sama mama, kakak bilang mau kerumah Irma, tapi jalan sama lelaki. Mama kan da bilang kalau masih sekolah kakak belum boleh pacaran dulu. Siapa lelaki itu ?. chintya “ temen ma”. Mama “ laon kali kakak gak boleh jalan lagi kemana pun”. Chintya langsung masuk ke kamar nya, dia menyasali perbuatannya itu. Selama eman bulan hubungan mereka masih dijalani nya sampai Chintya lulus sekolah.
Chintya melanjutkan kuliah di salah satu universitas kesehatan Palembang jurusan Farmasi. Jadi Chintya dan Bari PAJERO. Walaupan Chintya di Palembang mereka masi bisa bertemu, malahan mereka senang karena jauh dari orang tua. Orang tua Chintya tidak tau bahwa Chintya pacaran dengan Bari. Sudah dua tahun mereka pacaran, dan Chintya kini sudah semester tiga. Orang tua nya tidak lupa pula selalu memberikan nasihat pada anaknya. Tidak lama kemudian terdengar kabar kalau Chintya sudah hamil empat bulan. Semua merasa kaget dan tidak percaya.
Eh ternyata gosip itu benar, mengetahui hal itu mama Chintya sangat sedih, dia merasa bersalah karena dia tidak bisa menjaga anak nya, Chintya juga merasa menyesal karena sudah mengecewakan mama mya yang sudah banyak berkorban demi masa depannya. Yah mau gimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Dengan sangat terpaksa Chintya dikeluarkan dari kuliah nya, dengat sangat terpaksa pula orang tua nya harus menikahkan dia. Chintya baru mengetahui latar belakang Bari sebenarnya, mau tidak mau dia harus menerima Bari untuk menjadi suaminya. Akhirnya mereka menikah lima bulan memikah mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Walaupun awalya orang tua Chintya tidak menyetujui hubungan anaknya itu tetapi lama-lama mereka bisa terima. Saat ini mereka hidup bahagia.
Oleh: ira
Chintya nama nya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Saat itu chintya duduk di sekolah kelas tiga SMA. Chintya di larang oleh kedua orang tua nya untuk berpacaran selama dia masih di bangku sekolah, apalagi berpacaran dengan orang yang tidak jelas asal-usul nya dan tidak berpendidikan. Saat itu liburan semester tiba tak jauh dari rumah nya ada acara pasar malam, chintya mengajak temannya Desy pergi ke pasar malam itu. Disitu chintya dan Dessy melihat-lihat permainan yang ada di pasar malam itu, dan mereka juga mengikuti permainan itu.
Setelah selesai mengikuti permainan mereka melanjutkan perjalanan mereka, tanpa sengaja chintya menginjak kaki seorang lelaki. Dengan perasaan kaget chintya langsung berhenti berjalan kaki meminta maaf kepada lelaki tersebut, dan lelaki itu membalasnya hanya dengan senyuman. Desy masih melanjutkan perjalannya dia tidak tahu bahwa Chintya menginjak kaki orang dan dia berhenti di suatu tempat. Tanpa sengaja Desy meninggalkan Chintya dan mereka terpisah saat itu. Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya dan secara tidak langsung mengajak Chinya berkanalan.
Lelaki itu mengeluarkan kata-kata” Bari”, kemudian chintya membalas dengan kata-kata “Chintya”. Tiba-tiba Chintya inget Desy “ nah mana si Desy”, kemudian bari berkata “kesana”. Chintya “ yeah kok aku ditinggal”. Bari “bareng sama aku aja”. Chintya “emang Bari sama siapa”. Bari “sendiri”. Chintya “owh, ya udah”. Akhirnya Bari dan Chintya jalan bareng, waktu sudah malam Chintya ingin pulang dan dia tidak bertemu dengan Desy lagi. Pikir Chintya “Desy mungkin sudah pulang ya Bar karena hari da malam”. Bari “mungkin, Chintya aku ja yang nganter pulang”. Chintya langsung menerima tawaran bari, akhirnya mereka pulang bareng. Ketika Chintya mau masuk ke pintu rumahnya bari memanggil Chintya “Chin boleh minta nomor HP gak?”, Chintya “boleh”. Chintya langsung memberikan nomor HP nya, bari “ thank’s yo”. Kemudian Chintya langsung masuk ke rumahnya.
Tak cukup dari situ, mereka melanjutkan komunikasinya lewat telfon dan sms. Bari bilang ke Chintya bahwa dia sekolah STM di jambi kelas dua. Dia membohongi Cintya padahal dia hanya tamat SD, Chintya percaya dengan kata-kata Bari. Tak lama kemudian mereka berpacaran tapi mereka becstreet. Kalau mereka ingin bertemu mereka bertemu di suatu tempat, Ketika mereka sedang berjalan, mereka berpapasan dengan mama Chintya, Chintya mulai cemas karena dia tadi bilang sama mama nya mau main kerumah Irma sahabatnya. Sepanjang perjalanan Chintya cemas dan bingung, dia memikirkan bagaimana dia pulang kerumah nanti apa yang terjadi padanya karena dia ketahuan bohong dengan mamanya.
Hari da mulai sore Chintya di antarkan bari pulang, tetapi tidak di rumah nya. Bari mengantarkan Chintya pulang jauh dari rumah Chintya karena bari juga merasa takut di marah mama Chintya. Ketika tiba di rumah Chintya di panggil mamanya “ dari mana kak”, Chintya hanya diam. Lalu mama Chintya mulai marah “ kakak mulai bohong ya sama mama, kakak bilang mau kerumah Irma, tapi jalan sama lelaki. Mama kan da bilang kalau masih sekolah kakak belum boleh pacaran dulu. Siapa lelaki itu ?. chintya “ temen ma”. Mama “ laon kali kakak gak boleh jalan lagi kemana pun”. Chintya langsung masuk ke kamar nya, dia menyasali perbuatannya itu. Selama eman bulan hubungan mereka masih dijalani nya sampai Chintya lulus sekolah.
Chintya melanjutkan kuliah di salah satu universitas kesehatan Palembang jurusan Farmasi. Jadi Chintya dan Bari PAJERO. Walaupan Chintya di Palembang mereka masi bisa bertemu, malahan mereka senang karena jauh dari orang tua. Orang tua Chintya tidak tau bahwa Chintya pacaran dengan Bari. Sudah dua tahun mereka pacaran, dan Chintya kini sudah semester tiga. Orang tua nya tidak lupa pula selalu memberikan nasihat pada anaknya. Tidak lama kemudian terdengar kabar kalau Chintya sudah hamil empat bulan. Semua merasa kaget dan tidak percaya.
Eh ternyata gosip itu benar, mengetahui hal itu mama Chintya sangat sedih, dia merasa bersalah karena dia tidak bisa menjaga anak nya, Chintya juga merasa menyesal karena sudah mengecewakan mama mya yang sudah banyak berkorban demi masa depannya. Yah mau gimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Dengan sangat terpaksa Chintya dikeluarkan dari kuliah nya, dengat sangat terpaksa pula orang tua nya harus menikahkan dia. Chintya baru mengetahui latar belakang Bari sebenarnya, mau tidak mau dia harus menerima Bari untuk menjadi suaminya. Akhirnya mereka menikah lima bulan memikah mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Walaupun awalya orang tua Chintya tidak menyetujui hubungan anaknya itu tetapi lama-lama mereka bisa terima. Saat ini mereka hidup bahagia.
Cinta Pertama
Cinta Pertama
Oleh: Ira
Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah Adit punya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik Adit. Aku setahun lebih tua darinya. Status sosial keluargaku dan keluarga Adit bagaikan langit dan bumi. Ayah Adit seorang pengusaha sukses dan ibunya seorang guru. Sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD. Ibuku kemudian berjualan kue-kue untuk menghidupi kami yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar limabelasan ribu. Aku juga sering membantu menjualkan kue-kue ibuku ke sekolah. Namun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersaudara. Aku sendiri pernah diusir dari kelas karena belum membayar uang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisi itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemu dengan Doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat Adit sejak SD. Jika Adit adalah seorang yang pendiam, Doni seorang cowok yang supel. Hampir semua orang mengenalnya. Dengan senang hati Doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampai rumah. Di jalan Doni bercerita:
“Mbak, kemarin Adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek di desa kita juga ini lho,” cerita Doni memanggilku dengan embel-embel Mbak, tradisi di desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
”Yang bener aja, Don? Emangnya siapa?” “Tak tahu juga mbak, Adit tak sebut nama,” “Iyakah? Tapi di desa kita ini ‘kan banyak ceweknya?”.
“Iya juga ya mbak, and….kira kira siapa ya? Hayooo siapa………..?”
“Ooi oi siapa dia oh siapa dia,” Doni malah menyanyi seperti pembawa acara Kuis Siapa Dia di TVRI waktu kami kecil dulu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku punya harapan. Tapi, ah tak mungkin masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk dijatuhin cinta sama Adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap Adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan Adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandigan olahraga di lapangan sekolah, Adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa Adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap Adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata Doni dan….Adit. Doni mau meminjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku?.
“Ehm….tenang mbak, tenang. Bukan untuk aku ko, Mbak. Itu tu untuk Adit,” kata Doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah di sini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan Mbak, Mbak Tari yang baik…?” Aku melirik Adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk rumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu kusimpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, kubilang sama Doni agar nanti Adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
****
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba …gedubrak….. terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak kesakitan jatuh terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera menghampirinya. Orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah Adit. Namun tak lama polisi datang membubarkan kerumunan dan segera membawa Adit ke rumah sakit terdekat. Aku dan temanku menemaninya tanpa diminta.Sesampainya di rumah sakit, Adit dibawa ke ruang gawat darurat. Polisi meminta sedikit informasi mengenai Adit. Aku mengatakan Adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga Adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah terlambat pulang. Meski aku keberatan, kuanggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian Adit di bawa ke ruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit mendapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat Adit masih tertidur ketika perawat meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan Adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur Adit. Kutatap wajah Adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan Adit, sudah hampir pukul 3 sore. Ke mana ya keluarga Adit, batinku. Aku turun dikursi dan kutelungkupkan kepalaku di ranjang. Di ruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk Adit, segera kuusap mukaku dan sedikit kurapikan rambutku. Kutengok Adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah kuucapkan terimakasih kepadanya. Kami sama-sama saling terdiam tak tahu harus berkata apa. Beberapa menit berlalu, kucoba memecahkan kekakuan ini.
”Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil kusandarkan badanku ke dinding jendela. “Lumayan Mbak, Mbak dari tadi nungguin aku ya?” tanya Adit lemah.
Aku hanya mengangguk. Kami sama sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berada di sini bersama Adit, tapi rasanya lidah ini kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, ke mana Ibu Adit ya, kok sampai sekarang belum datang juga. Tadi polisi menjemput ke rumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sesekali menatap kepada Adit.
“Mungkin di rumah tak ada orang, Mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa Inggris. Paling Mbok Warti yang biasa bantu kami bersih-bersih rumah,” jawab Adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya sedikit ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam.
Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa memasuki kamar. Ayah dan ibu Adit yang kelihatan sangat mencemaskan Adit, segera menghampirinya yang terbaring lemah. Baru setelah itu ibu menoleh kepadaku dan mengucapkan terima kasih. Tak lama berselang Doni datang dengan kecemasan juga, Doni tersenyum padaku sebelum menyapa Adit. Wah untung ada Doni, bisa minta tolong nganterin aku pulang. Aku sudah capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kuberbisik pada Doni untuk mengantarku pulang. Dan ternyata Doni mengiyakannya. Aku segera berpamitan pada ayah ibu yang tak henti mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah menemani Adit, begitu juga Adit dengan diiringi senyum manisnya.
***
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketika aku sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku diketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yang cantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagai rasa terimakasih dari keluarganya. Kata Adit, itu bikinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah dipinjamnya bersama Doni.
“Mbak ini sesuai janji Doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata Adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh arti. Aku salah tingkah, seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi Adit langsung berpamitan. Dan ketika akan kuletakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas berlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya Adit yang terselip di lembaran ini. Segera kuambil dan kubuka, kubaca tulisan di dalamnya:
To : Mbak Tari
Mbak, Adit suka sama Mbak. Rasa ini sudah lama Adit simpan. Bagaimanakah perasaan Mbak pada Adit. Maaf ya Mbak?
From : Raditya***
Oleh: Ira
Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah Adit punya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik Adit. Aku setahun lebih tua darinya. Status sosial keluargaku dan keluarga Adit bagaikan langit dan bumi. Ayah Adit seorang pengusaha sukses dan ibunya seorang guru. Sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD. Ibuku kemudian berjualan kue-kue untuk menghidupi kami yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar limabelasan ribu. Aku juga sering membantu menjualkan kue-kue ibuku ke sekolah. Namun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersaudara. Aku sendiri pernah diusir dari kelas karena belum membayar uang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisi itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemu dengan Doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat Adit sejak SD. Jika Adit adalah seorang yang pendiam, Doni seorang cowok yang supel. Hampir semua orang mengenalnya. Dengan senang hati Doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampai rumah. Di jalan Doni bercerita:
“Mbak, kemarin Adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek di desa kita juga ini lho,” cerita Doni memanggilku dengan embel-embel Mbak, tradisi di desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
”Yang bener aja, Don? Emangnya siapa?” “Tak tahu juga mbak, Adit tak sebut nama,” “Iyakah? Tapi di desa kita ini ‘kan banyak ceweknya?”.
“Iya juga ya mbak, and….kira kira siapa ya? Hayooo siapa………..?”
“Ooi oi siapa dia oh siapa dia,” Doni malah menyanyi seperti pembawa acara Kuis Siapa Dia di TVRI waktu kami kecil dulu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku punya harapan. Tapi, ah tak mungkin masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk dijatuhin cinta sama Adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap Adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan Adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandigan olahraga di lapangan sekolah, Adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa Adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap Adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata Doni dan….Adit. Doni mau meminjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku?.
“Ehm….tenang mbak, tenang. Bukan untuk aku ko, Mbak. Itu tu untuk Adit,” kata Doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah di sini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan Mbak, Mbak Tari yang baik…?” Aku melirik Adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk rumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu kusimpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, kubilang sama Doni agar nanti Adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
****
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba …gedubrak….. terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak kesakitan jatuh terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera menghampirinya. Orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah Adit. Namun tak lama polisi datang membubarkan kerumunan dan segera membawa Adit ke rumah sakit terdekat. Aku dan temanku menemaninya tanpa diminta.Sesampainya di rumah sakit, Adit dibawa ke ruang gawat darurat. Polisi meminta sedikit informasi mengenai Adit. Aku mengatakan Adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga Adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah terlambat pulang. Meski aku keberatan, kuanggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian Adit di bawa ke ruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit mendapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat Adit masih tertidur ketika perawat meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan Adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur Adit. Kutatap wajah Adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan Adit, sudah hampir pukul 3 sore. Ke mana ya keluarga Adit, batinku. Aku turun dikursi dan kutelungkupkan kepalaku di ranjang. Di ruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk Adit, segera kuusap mukaku dan sedikit kurapikan rambutku. Kutengok Adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah kuucapkan terimakasih kepadanya. Kami sama-sama saling terdiam tak tahu harus berkata apa. Beberapa menit berlalu, kucoba memecahkan kekakuan ini.
”Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil kusandarkan badanku ke dinding jendela. “Lumayan Mbak, Mbak dari tadi nungguin aku ya?” tanya Adit lemah.
Aku hanya mengangguk. Kami sama sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berada di sini bersama Adit, tapi rasanya lidah ini kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, ke mana Ibu Adit ya, kok sampai sekarang belum datang juga. Tadi polisi menjemput ke rumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sesekali menatap kepada Adit.
“Mungkin di rumah tak ada orang, Mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa Inggris. Paling Mbok Warti yang biasa bantu kami bersih-bersih rumah,” jawab Adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya sedikit ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam.
Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa memasuki kamar. Ayah dan ibu Adit yang kelihatan sangat mencemaskan Adit, segera menghampirinya yang terbaring lemah. Baru setelah itu ibu menoleh kepadaku dan mengucapkan terima kasih. Tak lama berselang Doni datang dengan kecemasan juga, Doni tersenyum padaku sebelum menyapa Adit. Wah untung ada Doni, bisa minta tolong nganterin aku pulang. Aku sudah capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kuberbisik pada Doni untuk mengantarku pulang. Dan ternyata Doni mengiyakannya. Aku segera berpamitan pada ayah ibu yang tak henti mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah menemani Adit, begitu juga Adit dengan diiringi senyum manisnya.
***
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketika aku sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku diketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yang cantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagai rasa terimakasih dari keluarganya. Kata Adit, itu bikinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah dipinjamnya bersama Doni.
“Mbak ini sesuai janji Doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata Adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh arti. Aku salah tingkah, seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi Adit langsung berpamitan. Dan ketika akan kuletakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas berlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya Adit yang terselip di lembaran ini. Segera kuambil dan kubuka, kubaca tulisan di dalamnya:
To : Mbak Tari
Mbak, Adit suka sama Mbak. Rasa ini sudah lama Adit simpan. Bagaimanakah perasaan Mbak pada Adit. Maaf ya Mbak?
From : Raditya***
Santai Sahabat
Santai Sahabat
Oleh: ira
Mungkin kau kecewa
Semua dating yang tak kau minta
Namun ini semua kenyataan kita
Waktu kita lelah dalam menjadi
Semua macam kisah dalam hidup ini
Kadang kita lemah hanya mampu untuk pasrah
Saat kanyataan gak sejalan dengan harapan
Saat keyakinan hilang dalam kepahitan
Tetaplah tabah setidaknya kau mencoba
Menjadi lebih dalam jalani hidup ini
Janganlah resah tiada waktu menjawabnya
Kau harus bersabar
Semua indah pada waktunya
Santai saja sahabatku
Ikuti kata hati biarkan sedihmu berlalu
Kau pasti bisa
Menjadi suatu hari dengan pagi yang baru
Tenang saja sahabat hadapilah semua.
Oleh: ira
Mungkin kau kecewa
Semua dating yang tak kau minta
Namun ini semua kenyataan kita
Waktu kita lelah dalam menjadi
Semua macam kisah dalam hidup ini
Kadang kita lemah hanya mampu untuk pasrah
Saat kanyataan gak sejalan dengan harapan
Saat keyakinan hilang dalam kepahitan
Tetaplah tabah setidaknya kau mencoba
Menjadi lebih dalam jalani hidup ini
Janganlah resah tiada waktu menjawabnya
Kau harus bersabar
Semua indah pada waktunya
Santai saja sahabatku
Ikuti kata hati biarkan sedihmu berlalu
Kau pasti bisa
Menjadi suatu hari dengan pagi yang baru
Tenang saja sahabat hadapilah semua.
Kata hati
Kata hati
Oleh: ira
Kau tak terukir dalam catatan harianku
Asal usul mu tak hadir dalam diskusi kehidupanku
Dalam wajahmu tak terlukis dalam sketsa mimpiku
Indah suaramu
Tak terekam dalan pita batinku
Namun kamu hidup mengaliri pori pori cinta dan semangatku
Sebab kamu adalah anugrah terindah dan teragung
Yang Tuhan ciptakan untukku
Dihadirku telah ku berikan ruang untukmu
Disetiap bilik jantungku akan ku ukir namamu
Wahai bidadariku cantik
Siapakah engkau sebenarnya
Andai ku tahu siapa kamu
Akan slalu ku tulis di biku harianku.
Oleh: ira
Kau tak terukir dalam catatan harianku
Asal usul mu tak hadir dalam diskusi kehidupanku
Dalam wajahmu tak terlukis dalam sketsa mimpiku
Indah suaramu
Tak terekam dalan pita batinku
Namun kamu hidup mengaliri pori pori cinta dan semangatku
Sebab kamu adalah anugrah terindah dan teragung
Yang Tuhan ciptakan untukku
Dihadirku telah ku berikan ruang untukmu
Disetiap bilik jantungku akan ku ukir namamu
Wahai bidadariku cantik
Siapakah engkau sebenarnya
Andai ku tahu siapa kamu
Akan slalu ku tulis di biku harianku.
Kesenpurnaan
Kesenpurnaan
Oleh: ira
Kini semua tlah kembali
Tawa canda senyum dan ceriaku
Semua tlah kembali
Karna kesempurnaan cinta yang kau beri
Ku tlah dapatkan kembali semangatku
Yang semula ku tak yakin itu semua akan hadir
Kembali di kehidupanku
Kesempurnaan cintamu membuatku menggilaimu
Tuhan terimakasih engkau tlah hadirkan dia ke dalam hidup ku
Dia bagaikan malaikat yang selalu membawa
Kedamaian dalam relung jiwa ku
Jangan pernah kau ambil dia dalam hidupku tuhan.
Oleh: ira
Kini semua tlah kembali
Tawa canda senyum dan ceriaku
Semua tlah kembali
Karna kesempurnaan cinta yang kau beri
Ku tlah dapatkan kembali semangatku
Yang semula ku tak yakin itu semua akan hadir
Kembali di kehidupanku
Kesempurnaan cintamu membuatku menggilaimu
Tuhan terimakasih engkau tlah hadirkan dia ke dalam hidup ku
Dia bagaikan malaikat yang selalu membawa
Kedamaian dalam relung jiwa ku
Jangan pernah kau ambil dia dalam hidupku tuhan.
Cinta dari kamu, dia, dan mereka
Cinta dari kamu, dia, dan mereka
Oleh: ira
Hidup seperti kertas putih
Kita terlahir dari kondisi kehidupan yang putih
Tanpa warna dan tanpa noda
Beranjak dewasa
Kertas itu mulai menampakkan warna
Warna-warni yang indah
Jika kita bisa memilih
Kertas itu akan lusuh kotor dan kusam
Jika kita menjalani hidup yang tak tau aturan
Kini kertas ku begitu banyak warna
Warna yang mengajariku pentingnya arti sebuah kehidupan
Kehidupan yang penuh tantangan
Kertasku kini sudah cantik
Hanya butuh satu warna lagi
Untuk menyempurnakan warnaku
Entah kapan ku bisa menemukan warna itu
Kertasku kini menjadi warna-warni
Warna itu berisi kamu, dia, dan mereka
Kamu untuk dia yang ku cintai
Dia untuk mereka sahabat-sahabat dan teman-temanku
Mereka untuk kamu orang tua dan seluruh keluargaku
Kertasku yang dulu pudar kini kembali cerah
Cerah karena cinta dan kasih sayang
Dari kamu, dia, dan mereka.
Oleh: ira
Hidup seperti kertas putih
Kita terlahir dari kondisi kehidupan yang putih
Tanpa warna dan tanpa noda
Beranjak dewasa
Kertas itu mulai menampakkan warna
Warna-warni yang indah
Jika kita bisa memilih
Kertas itu akan lusuh kotor dan kusam
Jika kita menjalani hidup yang tak tau aturan
Kini kertas ku begitu banyak warna
Warna yang mengajariku pentingnya arti sebuah kehidupan
Kehidupan yang penuh tantangan
Kertasku kini sudah cantik
Hanya butuh satu warna lagi
Untuk menyempurnakan warnaku
Entah kapan ku bisa menemukan warna itu
Kertasku kini menjadi warna-warni
Warna itu berisi kamu, dia, dan mereka
Kamu untuk dia yang ku cintai
Dia untuk mereka sahabat-sahabat dan teman-temanku
Mereka untuk kamu orang tua dan seluruh keluargaku
Kertasku yang dulu pudar kini kembali cerah
Cerah karena cinta dan kasih sayang
Dari kamu, dia, dan mereka.
Pedih
Pedih
Oleh: ira
Engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakiti
racun yang membunuh mu perlahan
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu pada tangis mu
yang menusuk relung hati yang paling dalam
hanya diri sendiri
yang tak mungkin prang lain tak mengerti
disini ku temani kau dalam tangis mu
biar air mata dapat cairkan hati
kan ku cabut duru pedih dalam hati mu
agar ku lihat senyum di tidur mu malam nanti
anggaplah semua ini
satu langkah dewasakan diri
dan tak nterpungkiri juga bagi mu.
Oleh: ira
Engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakiti
racun yang membunuh mu perlahan
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu pada tangis mu
yang menusuk relung hati yang paling dalam
hanya diri sendiri
yang tak mungkin prang lain tak mengerti
disini ku temani kau dalam tangis mu
biar air mata dapat cairkan hati
kan ku cabut duru pedih dalam hati mu
agar ku lihat senyum di tidur mu malam nanti
anggaplah semua ini
satu langkah dewasakan diri
dan tak nterpungkiri juga bagi mu.
Senin, 28 Juni 2010
Skandal Cinta
Skandal Cinta
Rasanya lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura bagiku dan Irma. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Irma sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut, mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!
“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris. Bisa, Ta?” Irma membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.
“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.
* * *
“Ir, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Irma, sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ir, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.
Irma sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya. Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku Irma.
“Ini cowok Irma ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja, yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.
“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.
Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2 helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai dihembus angin sepoi-sepoi.
“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Irma mengantarnya ke gerbang kos di bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga mengatup kisah pada hari itu.
* * *
“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp
Irma. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Irma memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang AndiIrma bilang kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis ‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga kerap kali menghubungi Irma. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!
Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu hari ini, saat aku membuka facebook Irma. Di sana, aku menemukan pesan yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Irma, di bawah pohon cherry di depan kos.
Begitu Irma pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Irma bilang malam ini dia akan mengerjakan tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk redam hatiku.
Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua, dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Irma terkejut melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia terjengkang. Irma berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku ke Irma.
“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.
* * *
Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!
Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.
“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi, berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku terpesona.
“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa manisnya dia.***
Rasanya lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura bagiku dan Irma. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Irma sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut, mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!
“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris. Bisa, Ta?” Irma membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.
“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.
* * *
“Ir, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Irma, sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ir, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.
Irma sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya. Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku Irma.
“Ini cowok Irma ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja, yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.
“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.
Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2 helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai dihembus angin sepoi-sepoi.
“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Irma mengantarnya ke gerbang kos di bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga mengatup kisah pada hari itu.
* * *
“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp
Irma. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Irma memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang AndiIrma bilang kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis ‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga kerap kali menghubungi Irma. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!
Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu hari ini, saat aku membuka facebook Irma. Di sana, aku menemukan pesan yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Irma, di bawah pohon cherry di depan kos.
Begitu Irma pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Irma bilang malam ini dia akan mengerjakan tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk redam hatiku.
Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua, dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Irma terkejut melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia terjengkang. Irma berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku ke Irma.
“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.
* * *
Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!
Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.
“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi, berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku terpesona.
“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa manisnya dia.***
Peradilan Rakyat
Tokoh-tokoh yang berperan
1. Pengacara muda
2. Pengacara tua
3. Seorang wanita
Peradilan Rakyat
Putu Wijaya seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
pengacara muda : "Tapi aku datang tidak sebagai putramu, aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
(Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung).
pengacara tua : "Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
pengacara muda: "Ayahanda bertanya kepadaku?"
pengacara tua: "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
(Pengacara muda itu tersenyum).
pengacara muda : "Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
pengacara tua: "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa).
pengacara muda : "Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
pengacara tua : "Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
pengacara muda : "Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
(Pengacara tua itu tertawa).
pengacara tua: "Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!"
(Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf).
pengacara tua : "Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan, jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
(Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang).
pengacara muda : "Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
pengacara tua : "Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
pengacara muda : "Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
(Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan). "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
pengacara tua : "Lalu kamu terima?"( potong pengacara tua itu tiba-tiba).
pengacara senior : "Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata:
pengacara tua ; "Sebab aku kenal siapa kamu."
pengecara muda : "Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
pengacara tua : "Jadi itu yang ingin kamu tanyakan? Antara lain.
Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
pengacara tua : "Jadi langkahku sudah benar?"
(Orang tua itu kembali mengelus janggutnya).
pengacara tua : "Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
pengacara muda : "Karena aku akan membelanya. Supaya dia menang?
Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
pengacara tua : "Apa jawabanku salah?Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang, Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan. Tapi kamu akan menang. Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.
Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
(Pengacara muda itu tertawa kecil).
pengacara muda : "Itu pujian atau peringatan?. Pujian.Asal Anda jujur saja. Betul?. Betul!. Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan? Bukan! Kenapa mesti takut? Mereka tidak mengancam kamu? Mengacam bagaimana? Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka? Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
pengacara tua : "Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?Tidak.Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
pengacara muda : "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang! Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
Pengacara tua : "Bagaimana kalau dia sampai menang?Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
pengacara tua : "Berarti ya! Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
pengacara tua : "Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.
Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan? Betul. Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
pengacara tua : "Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
pengacara tua : "Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
wanita : "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
pengacara muda : "Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
pengacara tua : "Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
1. Pengacara muda
2. Pengacara tua
3. Seorang wanita
Peradilan Rakyat
Putu Wijaya seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
pengacara muda : "Tapi aku datang tidak sebagai putramu, aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
(Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung).
pengacara tua : "Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
pengacara muda: "Ayahanda bertanya kepadaku?"
pengacara tua: "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
(Pengacara muda itu tersenyum).
pengacara muda : "Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
pengacara tua: "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."
(Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa).
pengacara muda : "Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
pengacara tua : "Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
pengacara muda : "Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
(Pengacara tua itu tertawa).
pengacara tua: "Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!"
(Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf).
pengacara tua : "Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan, jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
(Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang).
pengacara muda : "Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
pengacara tua : "Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
pengacara muda : "Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
(Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan). "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."
pengacara tua : "Lalu kamu terima?"( potong pengacara tua itu tiba-tiba).
pengacara senior : "Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata:
pengacara tua ; "Sebab aku kenal siapa kamu."
pengecara muda : "Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
pengacara tua : "Jadi itu yang ingin kamu tanyakan? Antara lain.
Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
pengacara tua : "Jadi langkahku sudah benar?"
(Orang tua itu kembali mengelus janggutnya).
pengacara tua : "Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
pengacara muda : "Karena aku akan membelanya. Supaya dia menang?
Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
pengacara tua : "Apa jawabanku salah?Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang, Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan. Tapi kamu akan menang. Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.
Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
(Pengacara muda itu tertawa kecil).
pengacara muda : "Itu pujian atau peringatan?. Pujian.Asal Anda jujur saja. Betul?. Betul!. Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan? Bukan! Kenapa mesti takut? Mereka tidak mengancam kamu? Mengacam bagaimana? Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka? Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
pengacara tua : "Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?Tidak.Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
pengacara muda : "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang! Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
Pengacara tua : "Bagaimana kalau dia sampai menang?Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
pengacara tua : "Berarti ya! Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
pengacara tua : "Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.
Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan? Betul. Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
pengacara tua : "Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
pengacara tua : "Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.Tapi..."
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
wanita : "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
pengacara muda : "Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
pengacara tua : "Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
Antara Aku dan Abel
Nama : Ira Febrianti
Antara Aku dan Abel
Aku sudah lama mengenal Abel lama sekali, sejak SMP, eh SD, ah atau mungkin sejak aku lahir, karena Abel selalu ada untukku, selalu menemani aku, tempat aku mengadu, tertawa bersama bahkan saat aku ada masalah Abel-lah yang pertama kali tahu.
Hingga suatu hari Abel harus pergi, dia lulus SMPTN dengan angka luar biasa. Itulah yang aku kagumi dari Abel. Dia pintar, cakep dan selalu perhatian, dan dia tak pernah bisa melihatku menangis. Dia telah menjadi bagian hidupku. Mulanya aku senang karena Abel berhasil lolos di Fakultas Psikologi yang sangat diimpikannya. Tapi aku terpana ketika tahu universitas mana yang berhasil dimasukinya.
“Mengapa harus jauh-jauh di Pekanbaru? Mengapa tak di sini saja, apa sih kurangnya Jogja buat kamu?” Kutatap matanya yang terus saja memancarkan girang.
“Witri, di manapun tempat kuliah itu sama saja! Jogja, Pekanbaru. Tinggal kita nya aja kok….” Jawabnya.
“Tapi….”
“Percayalah, aku baik-baik saja di sana!” Potongnya
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.
“Tak akan pernah Witri! Mana mungkin aku bisa melupakan anak manja dan cengeng sepertimu….”
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku
Dia tertawa dan terus mengejarku, selalu saja begitu. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali, sementara senja bergulir perlahan, tempiasan sinarnya memantul di permukaan telaga. Liburan kali ini seperti juga liburan kemarin selalu saja dihabiskan di tempat ini, di Telaga Sarangan, tapi kami tak pernah bosan. Bahkan ketika liburan tahun sebelumnya Romo mengajakku ke Rotterdam mengunjungi Oom Peter, Aku sedih sekali tak bisa ke Sarangan bersama Abel.
“Jangan menangis gitu dong, Witri! Jogja-Pekanbaru itu nggak jauh kok, aku kan bisa telpon kamu. Ayo se-nyum! Masa jagoan cengeng…” Ejek Bintang ketika aku mengantar kepergiannya di Bandara.
Aku mencoba tersenyum, kamu nggak tahu Abel, Meskipun aku bisa telpon kamu seharian pun tetap beda kalau kamu tak ada di dekatku, kamu nggak bisa temani aku ke Perpustakaan lagi, jalan-jalan ke Malioboro, ke Alun alun atau ke Sarangan, nggak bisa lagi!
***
Satu tahun terakhir Abel mulai jarang menghubungiku, ketika kutanyakan dia hanya menjawab “sibuk.” Sibuk berorganisasi-lah, sibuk kuliah, dan segala macam alasannya. Aku maklum, aku percaya Abel tak pernah bohong padaku.
Dua tahun di awal, Abel tak pernah menghubungiku lagi. Telpon kost-nya ketika kuhubungi diangkat temannya, dan dari temannya kutahu Abel sudah pindah. Handphone-nya tak pernah aktif. Lalu kutulis surat lewat email, lama sekali baru dibalas.
“Dear Witri…
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Abel tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Abel tak pernah membalas emailku.
Hari-hari menjelang UN makin dekat, sejenak Abel terlupakan, sebagai gantinya tiap malam sebelum tidur aku memandangi bintang-bintang di langit, menumpahkan semua sedih, perih dan juga rindu. Aku selalu berharap bintang-bintang itu menyampaikan keluh kesahku pada Abelku yang selalu saja sibuk.
“Mungkin kamu mencintai Abel, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Abel.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.
“Kamu membohongi diri sendiri kalau bilang nggak cinta sama Abel!” lanjut Luna.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Abel! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Abel. Abel sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.
Seruling bambu
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Abel telah melupakanku? Mengapa?
***
Hasil kerja kerasku selama hampir dua tahun penuh tak sia-sia, aku lulus UN dengan nilai menakjubkan. Romo dan Ibu bangga padaku, semua mengucapkan selamat padaku, bahkan Oom Peter menawariku kuliah di negerinya. Tapi aku menolak, sama halnya ketika aku ditawari beasiswa di berbagai PTN atau New Orleans, (untuk tawaran yang satu ini aku tak pernah memberitahu Romo dan Ibu, karena aku yakin beliau pasti marah jika tahu aku menolak beasiswa dari sebuah Universitas ternama di New Orleans.) Sebenarnya ini kesempatan langka, tapi aku sudah punya rencana sendiri,dan saat kuutarakan pada Romo aku membuat beliau marah dan kecewa.
“Apa!! Pekanbaru? Lebih baik kamu masuk UI saja!“ kata Romo
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.
Begitulah kutinggalkan Romo dan Ibu, aku ingin mengejar mimpiku, aku ingin mencari Abel. Pekanbaru adalah hal baru bagiku tapi aku yakin akan menemukan Abel dan bisa bersama-sama dengan Abel lagi. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama dengan beberapa mahasiswa dari berbagai kota dan daerah. Akhir-akhir ini aku dekat dengan seorang mahasiswi sebuah Universitas Negeri asal Medan, kak Tria.
“Nda, kenapa sih kamarmu penuh dengan segala macam benda dan hiasan bintang? kamu suka sama bintang?“ tanyanya suatu hari.
Aku memandang semua barang-barang itu, mulai dari bantal yang berbentuk bintang, stiker-stiker bintang, jam berbentuk bintang, selimut dan sprei yang bergambar bintang, handuk dengan motif bintang, gantungan kunci, mang-kuk berbentuk bintang dan gelas dengan hiasan bintang, dinding bercat dengan gambar bintang, buku, kotak sabun, kotak pensil, lemari semua penuh dengan segala macam tentang bintang.
“Aku terobsesi dengan Abel, kak. Aku ingin selalu dekat dengannya dan ingin memilikinya, karena dia juga suka bintang“
“Kakak juga suka Bintang, Nda, karena cowok kakak juga suka banget ma bintang.
“Orang? Maksud kakak? Kakak kenal Abel?“ tanyaku.
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Abel kah?
***
Aku memandang mereka dari kejauhan, kak Tria bergandengan dengan seseorang, dan rasanya aku sangat mengenalnya.
“Nda, ini Abel, pacar kakak. Abel, ini Nanda, adik yang tinggal serumah denganku…“ Kak Tria memamerkan senyum lesung pipitnya.
Aku tak mampu mengulurkan tangan, tubuhku beku, aku ingin memeluknya, menumpahkan semua rindu yang ada, tapi tak bisa, ada kak Tria yang memegang lengannya erat.
“Witri…apa kabar? Tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu…“ ucap Abel. Aku tersenyum kecut. Kamu jahat, Abel! Kamu melupakan aku, dan sekarang tak ada sedikit pun ucapan maafku untukmu, umpatku dalam hati.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.
Namaku Witri Ananda, seorang gadis bodoh yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tak pasti, mengharap seseorang tanpa mau mengakui perasa-annya sendiri. Uh… Abel takkan pernah tahu perasaanku, dia pasti menganggapku hanya sebagai teman atau adiknya karena aku tak pernah berani jujur padanya tentang semua ini. Aku kecewa dengan pertemuanku dengan Abel. Aku sedih, Abel telah menjadi milik orang lain. Tapi biarlah aku mengabadikan hadirmu melalui bentuk-bentuk abstrakmu, Abel. Biarkan aku mencintaimu dari jauh, hingga perlahan rasa itu reda.
***
Antara Aku dan Abel
Aku sudah lama mengenal Abel lama sekali, sejak SMP, eh SD, ah atau mungkin sejak aku lahir, karena Abel selalu ada untukku, selalu menemani aku, tempat aku mengadu, tertawa bersama bahkan saat aku ada masalah Abel-lah yang pertama kali tahu.
Hingga suatu hari Abel harus pergi, dia lulus SMPTN dengan angka luar biasa. Itulah yang aku kagumi dari Abel. Dia pintar, cakep dan selalu perhatian, dan dia tak pernah bisa melihatku menangis. Dia telah menjadi bagian hidupku. Mulanya aku senang karena Abel berhasil lolos di Fakultas Psikologi yang sangat diimpikannya. Tapi aku terpana ketika tahu universitas mana yang berhasil dimasukinya.
“Mengapa harus jauh-jauh di Pekanbaru? Mengapa tak di sini saja, apa sih kurangnya Jogja buat kamu?” Kutatap matanya yang terus saja memancarkan girang.
“Witri, di manapun tempat kuliah itu sama saja! Jogja, Pekanbaru. Tinggal kita nya aja kok….” Jawabnya.
“Tapi….”
“Percayalah, aku baik-baik saja di sana!” Potongnya
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.
“Tak akan pernah Witri! Mana mungkin aku bisa melupakan anak manja dan cengeng sepertimu….”
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku
Dia tertawa dan terus mengejarku, selalu saja begitu. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali, sementara senja bergulir perlahan, tempiasan sinarnya memantul di permukaan telaga. Liburan kali ini seperti juga liburan kemarin selalu saja dihabiskan di tempat ini, di Telaga Sarangan, tapi kami tak pernah bosan. Bahkan ketika liburan tahun sebelumnya Romo mengajakku ke Rotterdam mengunjungi Oom Peter, Aku sedih sekali tak bisa ke Sarangan bersama Abel.
“Jangan menangis gitu dong, Witri! Jogja-Pekanbaru itu nggak jauh kok, aku kan bisa telpon kamu. Ayo se-nyum! Masa jagoan cengeng…” Ejek Bintang ketika aku mengantar kepergiannya di Bandara.
Aku mencoba tersenyum, kamu nggak tahu Abel, Meskipun aku bisa telpon kamu seharian pun tetap beda kalau kamu tak ada di dekatku, kamu nggak bisa temani aku ke Perpustakaan lagi, jalan-jalan ke Malioboro, ke Alun alun atau ke Sarangan, nggak bisa lagi!
***
Satu tahun terakhir Abel mulai jarang menghubungiku, ketika kutanyakan dia hanya menjawab “sibuk.” Sibuk berorganisasi-lah, sibuk kuliah, dan segala macam alasannya. Aku maklum, aku percaya Abel tak pernah bohong padaku.
Dua tahun di awal, Abel tak pernah menghubungiku lagi. Telpon kost-nya ketika kuhubungi diangkat temannya, dan dari temannya kutahu Abel sudah pindah. Handphone-nya tak pernah aktif. Lalu kutulis surat lewat email, lama sekali baru dibalas.
“Dear Witri…
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Abel tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Abel tak pernah membalas emailku.
Hari-hari menjelang UN makin dekat, sejenak Abel terlupakan, sebagai gantinya tiap malam sebelum tidur aku memandangi bintang-bintang di langit, menumpahkan semua sedih, perih dan juga rindu. Aku selalu berharap bintang-bintang itu menyampaikan keluh kesahku pada Abelku yang selalu saja sibuk.
“Mungkin kamu mencintai Abel, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Abel.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.
“Kamu membohongi diri sendiri kalau bilang nggak cinta sama Abel!” lanjut Luna.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Abel! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Abel. Abel sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.
Seruling bambu
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Abel telah melupakanku? Mengapa?
***
Hasil kerja kerasku selama hampir dua tahun penuh tak sia-sia, aku lulus UN dengan nilai menakjubkan. Romo dan Ibu bangga padaku, semua mengucapkan selamat padaku, bahkan Oom Peter menawariku kuliah di negerinya. Tapi aku menolak, sama halnya ketika aku ditawari beasiswa di berbagai PTN atau New Orleans, (untuk tawaran yang satu ini aku tak pernah memberitahu Romo dan Ibu, karena aku yakin beliau pasti marah jika tahu aku menolak beasiswa dari sebuah Universitas ternama di New Orleans.) Sebenarnya ini kesempatan langka, tapi aku sudah punya rencana sendiri,dan saat kuutarakan pada Romo aku membuat beliau marah dan kecewa.
“Apa!! Pekanbaru? Lebih baik kamu masuk UI saja!“ kata Romo
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.
Begitulah kutinggalkan Romo dan Ibu, aku ingin mengejar mimpiku, aku ingin mencari Abel. Pekanbaru adalah hal baru bagiku tapi aku yakin akan menemukan Abel dan bisa bersama-sama dengan Abel lagi. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama dengan beberapa mahasiswa dari berbagai kota dan daerah. Akhir-akhir ini aku dekat dengan seorang mahasiswi sebuah Universitas Negeri asal Medan, kak Tria.
“Nda, kenapa sih kamarmu penuh dengan segala macam benda dan hiasan bintang? kamu suka sama bintang?“ tanyanya suatu hari.
Aku memandang semua barang-barang itu, mulai dari bantal yang berbentuk bintang, stiker-stiker bintang, jam berbentuk bintang, selimut dan sprei yang bergambar bintang, handuk dengan motif bintang, gantungan kunci, mang-kuk berbentuk bintang dan gelas dengan hiasan bintang, dinding bercat dengan gambar bintang, buku, kotak sabun, kotak pensil, lemari semua penuh dengan segala macam tentang bintang.
“Aku terobsesi dengan Abel, kak. Aku ingin selalu dekat dengannya dan ingin memilikinya, karena dia juga suka bintang“
“Kakak juga suka Bintang, Nda, karena cowok kakak juga suka banget ma bintang.
“Orang? Maksud kakak? Kakak kenal Abel?“ tanyaku.
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Abel kah?
***
Aku memandang mereka dari kejauhan, kak Tria bergandengan dengan seseorang, dan rasanya aku sangat mengenalnya.
“Nda, ini Abel, pacar kakak. Abel, ini Nanda, adik yang tinggal serumah denganku…“ Kak Tria memamerkan senyum lesung pipitnya.
Aku tak mampu mengulurkan tangan, tubuhku beku, aku ingin memeluknya, menumpahkan semua rindu yang ada, tapi tak bisa, ada kak Tria yang memegang lengannya erat.
“Witri…apa kabar? Tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu…“ ucap Abel. Aku tersenyum kecut. Kamu jahat, Abel! Kamu melupakan aku, dan sekarang tak ada sedikit pun ucapan maafku untukmu, umpatku dalam hati.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.
Namaku Witri Ananda, seorang gadis bodoh yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tak pasti, mengharap seseorang tanpa mau mengakui perasa-annya sendiri. Uh… Abel takkan pernah tahu perasaanku, dia pasti menganggapku hanya sebagai teman atau adiknya karena aku tak pernah berani jujur padanya tentang semua ini. Aku kecewa dengan pertemuanku dengan Abel. Aku sedih, Abel telah menjadi milik orang lain. Tapi biarlah aku mengabadikan hadirmu melalui bentuk-bentuk abstrakmu, Abel. Biarkan aku mencintaimu dari jauh, hingga perlahan rasa itu reda.
***
CInTa tErLaRaNg
Nama : Emilia
NIM : 2007112084
NaSkAh dRaMa
TokOh-tOkoH
BuDi ( suami SuSi DAN rImA)
SUsI (sebai istri 1 dari Budi)
RiMa (adik kandung Susi)
eKa (Teman SuSi)
ibu Susi dan RiMA
CInTa tErLaRaNg
Dalam sebuah keluarga kebersamaan dan kesetiaanlah yang menjadi satu kunci pokok agar keluarga dapat harmonis dan tenram. Namun bagaimana ketika sosok keluarga tersebutdi hianati degan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu dari suami ataupun istri, mungkinkah kelurga tesebut bisa dipertahankan??
Susi memiliki sorang pacar yang sangat tampan dan gagah. Namun setelah mereka menikah hidup dalam satu lingkungan keluarga yang bersama dengan keluarga dari pihak perempuan atau istri.
Susi : pa saya pergi dulu ya, mau ke pasar beli perlengkapan dapur yang sudah mau habis.
Budi : Ya ma, tapi papa ngak bisa ngantar lagi ngak enak badan..hati-hati di jalan ya……!!
Susi : ya papa….Rima……rim…
Rima : ya mbak…
Susi : kamu ngak kerja kan hari ini??mbak mau belanja mungkin agak lama karena mau langsung ke dokter periksa kandungan.
Rima : sipa bos…
Susi pun peergi dan dengan tergesanya meninggalkan rumah..yang berada di rumah hanyalah Budi dan Rima, sedangkan ibu susi pergi keluar kota..
BuDI : Rima, tolongin kakak…
Tolong buatin kakak kopi tadi mbak mu ngak sempat lagi buatinnya..
Rima : ya….
Ini kak kopinya…
Budi : Kamu ngak kerja ma hari ini?
Rima :Ya kak bosnya pergi keluar kota jadi rima ngeliburin diri
Budi : Kamu makin cantik ja ma setiap harinya
Budi selalu saja merayu rima, dia memang cukup dekat dengan rima semenjak susi dan Budi berpacaran..dan tak luput pula rayuan-rayua yang keluar dari mulut Budi untuk adik iparnya itu.
Rima : Kakak bisa ja merayu, ntar di marah mbak susi lo…
Budi : mbakmu kan tidak akan pernah tahu, mengenai ini…
Rimapun termakan bujuk rayu yang dilontarkan oleh kakak iparnya yang gagah itu. Memang rima sudah lama menaruh simpati pada kakak iparnya itu. Karena seringnya Susi pergi keluar rumah semakin banyak pula kesempatan Budi dan Rima berduan di rumah sampai mereka terjebak dalam limbah hitam yang menjerumuskan keduanya..
Budi : Ma aku suka sama kamu, dan aku uga tahu kalau sudah sejak lama juga suka kan sama aku…
Rima : kakak apa-apaan sich??kakak kan suaminya mbak Susi??
Budi : ya, tapi aku lebih suka sama kamu…
Rimapun tersipu malu dan jantungnya berdetak kencang, Susi tidak pernah menaruh curuga pada suami dan adiknya itu pada saat ia pergi dari rumah, namun semua itu salah karena kepergian Susi itulah yang memeberi peluang keduanya selalu berdua, Pada minggu selanjutnya ketika susi pulang dari berbelanja dia curiga pada kamar Rima ada suara sosok laki-laki, dan diapun membuka pintu
Susi : ha…kalian??apa yang kalian lakukan??kalian gila….
Budi : ma..maaf ma ini tidak seperti yang mama kira
Rima : ya mbak salah paham
Susi : jadi ini yang sering kalian lakukan kalau aku ngak di rumah?kalian memang tidak berperasaan…
Susi sangat marah pada adik dan suami yang dia cintai itu, namun rasa bencinya kepada kedua itulah yang mengharuskannya untuk pergi dari rumah…ibu Susi sangat panic ketika mendengar berita dari anaknya itu, dan ibunyapun mengusir putri bungsunya beserta menantunya itu.
Rima : Mas aku masih merasa bersalah sama mbak Susi, aku mau mintak maaf mas
Budi : ya mas juga merasa sangat bersalah
Rima : kita harus cari mbak Susi mas, harus…
Rima dan budipun selalu mencari keberadaan Susi, mereka merasa bersalah karena semenjak mereka menikah mereka selalu dihantui rasa takut yang dalam…hingga suatu ketika Rima melihat adanya sedikit petunjuk yang mengarah pada keberadaan Susi
Rima : Eka…..eka,,,kamu teman dekatnya mabk Susi kan??pasti kamu tahu dimana mbak Susi sekarang..
Eka : apa-apain kamu, aku ngak tahu dimana Susi yang aku tahu kalian berdua itu penghianat, syaraf gak punya perasaann…
Budi : ya Eka maka dari itu kami mau mencari Susi, kami mau meminta maaf…
Eka : aku sudah bilang, aku tidak tahu…
Rima ; sekarang kamu mau kasih tahu pa nggakkk??atau?/
Eka : atau apa??
Budi langsung mencegah berseteruan mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun karena mendEngar suara rIbut yang cukup keras akhirnya Susi keluar dari kosan yang di temapat Eka dan dirinya..
Rima ; mbak….mbak Susi, aku mau mintak maaf mbak..
Budi : Susi, kami betul-betul minta maaf Sus
Susi : mau apa lagi kalian ke sini, aku sudah muak melihat muka kalian, jangan ganggu hidup aku lagi. Pergi pergi….
Dan susipun langsung masuk ke dalam kosannya serentak degan keras ia menutup pintu rumah..
Eka : jadi kalian tunggu apa lagi, susi sudah ngak mau ketemu kalian lagi, pergi….pergi….
Rima dan Budi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka pulang dengan muka yang penuh rasa bersalah, yang bisa mereka lakukan hanyalah berserah kepada ALLAH dan memohon taubatnya….
ThE EnD
NIM : 2007112084
NaSkAh dRaMa
TokOh-tOkoH
BuDi ( suami SuSi DAN rImA)
SUsI (sebai istri 1 dari Budi)
RiMa (adik kandung Susi)
eKa (Teman SuSi)
ibu Susi dan RiMA
CInTa tErLaRaNg
Dalam sebuah keluarga kebersamaan dan kesetiaanlah yang menjadi satu kunci pokok agar keluarga dapat harmonis dan tenram. Namun bagaimana ketika sosok keluarga tersebutdi hianati degan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu dari suami ataupun istri, mungkinkah kelurga tesebut bisa dipertahankan??
Susi memiliki sorang pacar yang sangat tampan dan gagah. Namun setelah mereka menikah hidup dalam satu lingkungan keluarga yang bersama dengan keluarga dari pihak perempuan atau istri.
Susi : pa saya pergi dulu ya, mau ke pasar beli perlengkapan dapur yang sudah mau habis.
Budi : Ya ma, tapi papa ngak bisa ngantar lagi ngak enak badan..hati-hati di jalan ya……!!
Susi : ya papa….Rima……rim…
Rima : ya mbak…
Susi : kamu ngak kerja kan hari ini??mbak mau belanja mungkin agak lama karena mau langsung ke dokter periksa kandungan.
Rima : sipa bos…
Susi pun peergi dan dengan tergesanya meninggalkan rumah..yang berada di rumah hanyalah Budi dan Rima, sedangkan ibu susi pergi keluar kota..
BuDI : Rima, tolongin kakak…
Tolong buatin kakak kopi tadi mbak mu ngak sempat lagi buatinnya..
Rima : ya….
Ini kak kopinya…
Budi : Kamu ngak kerja ma hari ini?
Rima :Ya kak bosnya pergi keluar kota jadi rima ngeliburin diri
Budi : Kamu makin cantik ja ma setiap harinya
Budi selalu saja merayu rima, dia memang cukup dekat dengan rima semenjak susi dan Budi berpacaran..dan tak luput pula rayuan-rayua yang keluar dari mulut Budi untuk adik iparnya itu.
Rima : Kakak bisa ja merayu, ntar di marah mbak susi lo…
Budi : mbakmu kan tidak akan pernah tahu, mengenai ini…
Rimapun termakan bujuk rayu yang dilontarkan oleh kakak iparnya yang gagah itu. Memang rima sudah lama menaruh simpati pada kakak iparnya itu. Karena seringnya Susi pergi keluar rumah semakin banyak pula kesempatan Budi dan Rima berduan di rumah sampai mereka terjebak dalam limbah hitam yang menjerumuskan keduanya..
Budi : Ma aku suka sama kamu, dan aku uga tahu kalau sudah sejak lama juga suka kan sama aku…
Rima : kakak apa-apaan sich??kakak kan suaminya mbak Susi??
Budi : ya, tapi aku lebih suka sama kamu…
Rimapun tersipu malu dan jantungnya berdetak kencang, Susi tidak pernah menaruh curuga pada suami dan adiknya itu pada saat ia pergi dari rumah, namun semua itu salah karena kepergian Susi itulah yang memeberi peluang keduanya selalu berdua, Pada minggu selanjutnya ketika susi pulang dari berbelanja dia curiga pada kamar Rima ada suara sosok laki-laki, dan diapun membuka pintu
Susi : ha…kalian??apa yang kalian lakukan??kalian gila….
Budi : ma..maaf ma ini tidak seperti yang mama kira
Rima : ya mbak salah paham
Susi : jadi ini yang sering kalian lakukan kalau aku ngak di rumah?kalian memang tidak berperasaan…
Susi sangat marah pada adik dan suami yang dia cintai itu, namun rasa bencinya kepada kedua itulah yang mengharuskannya untuk pergi dari rumah…ibu Susi sangat panic ketika mendengar berita dari anaknya itu, dan ibunyapun mengusir putri bungsunya beserta menantunya itu.
Rima : Mas aku masih merasa bersalah sama mbak Susi, aku mau mintak maaf mas
Budi : ya mas juga merasa sangat bersalah
Rima : kita harus cari mbak Susi mas, harus…
Rima dan budipun selalu mencari keberadaan Susi, mereka merasa bersalah karena semenjak mereka menikah mereka selalu dihantui rasa takut yang dalam…hingga suatu ketika Rima melihat adanya sedikit petunjuk yang mengarah pada keberadaan Susi
Rima : Eka…..eka,,,kamu teman dekatnya mabk Susi kan??pasti kamu tahu dimana mbak Susi sekarang..
Eka : apa-apain kamu, aku ngak tahu dimana Susi yang aku tahu kalian berdua itu penghianat, syaraf gak punya perasaann…
Budi : ya Eka maka dari itu kami mau mencari Susi, kami mau meminta maaf…
Eka : aku sudah bilang, aku tidak tahu…
Rima ; sekarang kamu mau kasih tahu pa nggakkk??atau?/
Eka : atau apa??
Budi langsung mencegah berseteruan mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun karena mendEngar suara rIbut yang cukup keras akhirnya Susi keluar dari kosan yang di temapat Eka dan dirinya..
Rima ; mbak….mbak Susi, aku mau mintak maaf mbak..
Budi : Susi, kami betul-betul minta maaf Sus
Susi : mau apa lagi kalian ke sini, aku sudah muak melihat muka kalian, jangan ganggu hidup aku lagi. Pergi pergi….
Dan susipun langsung masuk ke dalam kosannya serentak degan keras ia menutup pintu rumah..
Eka : jadi kalian tunggu apa lagi, susi sudah ngak mau ketemu kalian lagi, pergi….pergi….
Rima dan Budi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mereka pulang dengan muka yang penuh rasa bersalah, yang bisa mereka lakukan hanyalah berserah kepada ALLAH dan memohon taubatnya….
ThE EnD
TeMan LelaKiKu
Nama : Emilia
NIM : 2007112084
TeMan LelaKiKu
Wah.. murid baru nie..?ungkap seorang co ganteng ma anak-anak yang lainketika aku memasuki kelas baru itu. “Namaku Emlie, Pindahan dari Jakarta”ungkap Emli saat memperkenalkan dirinya di depan kelas sebagai murid baru.
“Emli silahkan kamu duduk di depan !” ujar buk Ratna, wali kelas ku yang menempatkan aku disalah satu kursi yang masih belum di tempati.
“Daniel, tolong kamu pindah ke depan dan duduk di samping Emli yang akan menemani Emli di kelas barunya.
“Emli ini Daniel, ketua kelas X.4, ibu harap kamu betah di kelas dan juga menjadi teman yang baik terhadap anak-anak yang lainnya. Sebelum Emli memasuki sekolah barunya, Emli sudah mengenal nuk Ratna. Buk Ratna adalah teman ayahnya Emli, karena itulah buk Ratna sangat memperhatikan Emli sampai-sampai buk Ratna menitipka Emli kepada Daniel murid kepercyaan buk Ratna untuk nemanin Emli. Dan semenjak itulah awal dari kisah persahabatan Emli dan Daniel.
“Duh…Gak pernah-pernahnya aku duduk ma co, ciwokan gak bisa ngertiin ce, gimana aku bisa nyambung ngobrol ma dia. Dunia ce dan dunia co kan beda.! Ungkap Emli resah. Tiba-tiba terhempaslah lamunan Emli.
“pindahan dari sekolah seberang ya? Kalo boleh tahu kenapa pindah ke sini? Tanya Daniel yang sangat peduli dengan teman barunya itu.
“Bapakku pindah tugas n kerja disini, jadi terpaksa deh pindah kesini.
Tiba-tiba ada ce manis menghampiri Emli.
“kenalin aku Mimi, aku harap kita bisa jadi teman yang baik??” ujar mimi dengan ramah sambil menyodorkan yang berharap banget aku jadi temannya.”
“dengan senang hati,” balas Emli dengan ramah menerima Mimi menjadi teman baik buat Emli. Kemudian anak-anak yang lainpun satu persatu memperkenalkan diri ke kikan. “Mereka sangat ramah ke aku tapi tetap aja gak buat aku ngerasa betah tinggal di sini, sekolahannya ja lebih asyikan yang di Jakarta.
“gimana sekolah barunya sayang??” ujar mama yang menyambut Emli setelah pulang dari sekolah barunya. “Lumayan enak si ma, tapi tetap ja enakan di Jakarta, anak-anaknya pada asyik, gak kayak di sini semua pada rada kuper!”Ungkap Emli dengan ekspresi suram sambil menghelakan nafas.
“lo bukannya kamu sendiri yang minta pindah?” ujar mama Emli yang menyangkal.
“iya ma tapi kan Cuma buat ngumpul bareng keluarga besarnya kita, tapi …gak tahu deh, sekolahannya kurang asyik aja buat Emli.
“sekarang kamu siap-sipa gih!kita mo makan malam di rumahnay Tania.
“waw yang benar ma?”Emli langsung semangat ketika mama nya mengajak makan di rumah Tania.
Tania adalah sepupu terdekat Emli, sudah dua tahun mereka tidak bertemu ketika mereka duduk di bangku kelas 2 SMP, mereka hanya bisa bertemu saat liburan sekolah ja. Itulah salah satu alas an Emli mo ikut kluarganya pindah .
“Ooo…jadi ceritanya kamu nyesal pindah ke sini?”ujar Tania waktu dengar curhatan Emli rada-rada BT dengan sekolahan barunya. Tania mang selalu jadi teman curhat to Emli, Segala hal Emli ceritakan kepada Tania. Sayang sekali mereka gak satu sekolahan, karena sekolah Tania jauh dari tempat tinggal Emli.
“hmm, uda gak terasa uda 1 bulan aku di sini, jadi kangen ma teman-temanku di Jakarta,lagi-lagi Emli melamun dalam pelajaran di kelas. “Emli kamu jawab soal no 2 kedepan..”Emli kaget dan terhempaslah lamunannya ketika pak Hendro menyuruh Emli menjawab soal Fisika ke depan. Untung saja tiba-tiba bel istirahat berbunyi. “Emli aku mo nanya ma kamu” Tanya Daniel menghampiri Emli di kantin.
“Aku sering meratiin kamu kayaknya kamu masih lum betah di sini ?”Tanya Daniel yang sangat perhatian dengan Emli.
“Iya dan aku masih sanagt asing di sini. Ungkap emli pada Daniel. “Emli kalo kamu mo aku bisa kok bantuin kamu” Thans ya Dan, kamu baik bangat”jawab Emli dengan senang.
Tiba-tiba yang tadinya wajah Emli suram berubah seperti orang yang baru saja mendapat uang milyaran rupiah. Ternyata Emli baru saja mendapat telepon dari paaranya.
“pacarmu ya?”Tanya Daniel penasaran ma orang yang sudah membuat Emli manjadi senang.
“Iya namanya Robin, kami sudah 3 tahun jadian. Sejak kelas 1 SMP dan sekarang kita pacaran jarak jauhdeh…”ungkap Emli menceritakan cerita cintanya ke Daniel.
“Kamu sendiri mana cenya?” Tanya Emi kembali.”uda sih aku sudah pacaran seitaran 2 tahun lamanya, tapi sekarang kami ada masalah sedikit.”ungkap Daniel yang curhat sedikit. “mudah-mudah kalian cepat baikan ya..”Ungkap Emli. “thanks ya ternyata kamu orangnya baik juga”
Keesokan harinya saat bel telah berbunyi tanda pelajaran akan dimulai, tiba-tiba Emli dtang dengan ekspresi yang murung dan langsung duduk di kursi sambilmenundukan kealanya di meja. “Kikan kamu kenapa? Kusut banget?”Tanya Daniel heran. “Dan semalem aku putus ma Robin, ternyata pacaran jarak jauh itu gak enak banget, mungkin ini jalan yang terbaik buat kita masing-masing.” Ungkap Emli pada Daniel.
“Emli biar kamu gak sedih lagi giman kalau kita pulang sekolah nanti jalan-jalan, habis itu aku traktir makan deh” ujar Daniel yang berusaha menghibur.
Emli sangat senang sekali lambat laun dipun sudah dapat melupakan Robin.
“Pa iy-iya..yang dibilang Tania…aku jatuh cinta ma Daniel dan apa salahnya aku ungkapkan prsaan aku ke dia” ungkap Emliyang tak bisa tidur.
Bel istirahat berbunyi Emli dan Daniel seperti biasa duduk sambl makan mie ayam di kantin
“Dan ada sesuatu yang yang pengen aku omongin ke kamu..”ungkap Emli yang tidak sabar ingin mengungkapkan persaannya pada Daniel.
“Sama, aku juga ada yang mo diomongin ke kamu, aku mo kasih tahu ke kamu kalo aku hari ni senang bangat..” Dengan wajah berbinar-binar Daniel mengekspresikan ke Emli.
“Ya uda kamu duluan yang ngomong, kayaknya kamu lagi senang bangat hari ini, ujar Emli yang ikut senang sekaligus penasaran.
“aku mo kasih tahu ke kamu kalo aku uda baikan ma ce aku, semalam aku ke rumahnya dan aku minta maaf ma dia, trus dia maafin aku, dan akupun langsung ajak dia jalaj-jalan dan sambil foto box gitu…,ni fotonya. Daniel langsung mengeluarkan foto itudari dompetnya dan langsung memperlihatkan ke Emli.
Emli terdiam sat melihat foto itu seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ternyata Tania sepupunya lah pacar dari Daniel.
The End
NIM : 2007112084
TeMan LelaKiKu
Wah.. murid baru nie..?ungkap seorang co ganteng ma anak-anak yang lainketika aku memasuki kelas baru itu. “Namaku Emlie, Pindahan dari Jakarta”ungkap Emli saat memperkenalkan dirinya di depan kelas sebagai murid baru.
“Emli silahkan kamu duduk di depan !” ujar buk Ratna, wali kelas ku yang menempatkan aku disalah satu kursi yang masih belum di tempati.
“Daniel, tolong kamu pindah ke depan dan duduk di samping Emli yang akan menemani Emli di kelas barunya.
“Emli ini Daniel, ketua kelas X.4, ibu harap kamu betah di kelas dan juga menjadi teman yang baik terhadap anak-anak yang lainnya. Sebelum Emli memasuki sekolah barunya, Emli sudah mengenal nuk Ratna. Buk Ratna adalah teman ayahnya Emli, karena itulah buk Ratna sangat memperhatikan Emli sampai-sampai buk Ratna menitipka Emli kepada Daniel murid kepercyaan buk Ratna untuk nemanin Emli. Dan semenjak itulah awal dari kisah persahabatan Emli dan Daniel.
“Duh…Gak pernah-pernahnya aku duduk ma co, ciwokan gak bisa ngertiin ce, gimana aku bisa nyambung ngobrol ma dia. Dunia ce dan dunia co kan beda.! Ungkap Emli resah. Tiba-tiba terhempaslah lamunan Emli.
“pindahan dari sekolah seberang ya? Kalo boleh tahu kenapa pindah ke sini? Tanya Daniel yang sangat peduli dengan teman barunya itu.
“Bapakku pindah tugas n kerja disini, jadi terpaksa deh pindah kesini.
Tiba-tiba ada ce manis menghampiri Emli.
“kenalin aku Mimi, aku harap kita bisa jadi teman yang baik??” ujar mimi dengan ramah sambil menyodorkan yang berharap banget aku jadi temannya.”
“dengan senang hati,” balas Emli dengan ramah menerima Mimi menjadi teman baik buat Emli. Kemudian anak-anak yang lainpun satu persatu memperkenalkan diri ke kikan. “Mereka sangat ramah ke aku tapi tetap aja gak buat aku ngerasa betah tinggal di sini, sekolahannya ja lebih asyikan yang di Jakarta.
“gimana sekolah barunya sayang??” ujar mama yang menyambut Emli setelah pulang dari sekolah barunya. “Lumayan enak si ma, tapi tetap ja enakan di Jakarta, anak-anaknya pada asyik, gak kayak di sini semua pada rada kuper!”Ungkap Emli dengan ekspresi suram sambil menghelakan nafas.
“lo bukannya kamu sendiri yang minta pindah?” ujar mama Emli yang menyangkal.
“iya ma tapi kan Cuma buat ngumpul bareng keluarga besarnya kita, tapi …gak tahu deh, sekolahannya kurang asyik aja buat Emli.
“sekarang kamu siap-sipa gih!kita mo makan malam di rumahnay Tania.
“waw yang benar ma?”Emli langsung semangat ketika mama nya mengajak makan di rumah Tania.
Tania adalah sepupu terdekat Emli, sudah dua tahun mereka tidak bertemu ketika mereka duduk di bangku kelas 2 SMP, mereka hanya bisa bertemu saat liburan sekolah ja. Itulah salah satu alas an Emli mo ikut kluarganya pindah .
“Ooo…jadi ceritanya kamu nyesal pindah ke sini?”ujar Tania waktu dengar curhatan Emli rada-rada BT dengan sekolahan barunya. Tania mang selalu jadi teman curhat to Emli, Segala hal Emli ceritakan kepada Tania. Sayang sekali mereka gak satu sekolahan, karena sekolah Tania jauh dari tempat tinggal Emli.
“hmm, uda gak terasa uda 1 bulan aku di sini, jadi kangen ma teman-temanku di Jakarta,lagi-lagi Emli melamun dalam pelajaran di kelas. “Emli kamu jawab soal no 2 kedepan..”Emli kaget dan terhempaslah lamunannya ketika pak Hendro menyuruh Emli menjawab soal Fisika ke depan. Untung saja tiba-tiba bel istirahat berbunyi. “Emli aku mo nanya ma kamu” Tanya Daniel menghampiri Emli di kantin.
“Aku sering meratiin kamu kayaknya kamu masih lum betah di sini ?”Tanya Daniel yang sangat perhatian dengan Emli.
“Iya dan aku masih sanagt asing di sini. Ungkap emli pada Daniel. “Emli kalo kamu mo aku bisa kok bantuin kamu” Thans ya Dan, kamu baik bangat”jawab Emli dengan senang.
Tiba-tiba yang tadinya wajah Emli suram berubah seperti orang yang baru saja mendapat uang milyaran rupiah. Ternyata Emli baru saja mendapat telepon dari paaranya.
“pacarmu ya?”Tanya Daniel penasaran ma orang yang sudah membuat Emli manjadi senang.
“Iya namanya Robin, kami sudah 3 tahun jadian. Sejak kelas 1 SMP dan sekarang kita pacaran jarak jauhdeh…”ungkap Emli menceritakan cerita cintanya ke Daniel.
“Kamu sendiri mana cenya?” Tanya Emi kembali.”uda sih aku sudah pacaran seitaran 2 tahun lamanya, tapi sekarang kami ada masalah sedikit.”ungkap Daniel yang curhat sedikit. “mudah-mudah kalian cepat baikan ya..”Ungkap Emli. “thanks ya ternyata kamu orangnya baik juga”
Keesokan harinya saat bel telah berbunyi tanda pelajaran akan dimulai, tiba-tiba Emli dtang dengan ekspresi yang murung dan langsung duduk di kursi sambilmenundukan kealanya di meja. “Kikan kamu kenapa? Kusut banget?”Tanya Daniel heran. “Dan semalem aku putus ma Robin, ternyata pacaran jarak jauh itu gak enak banget, mungkin ini jalan yang terbaik buat kita masing-masing.” Ungkap Emli pada Daniel.
“Emli biar kamu gak sedih lagi giman kalau kita pulang sekolah nanti jalan-jalan, habis itu aku traktir makan deh” ujar Daniel yang berusaha menghibur.
Emli sangat senang sekali lambat laun dipun sudah dapat melupakan Robin.
“Pa iy-iya..yang dibilang Tania…aku jatuh cinta ma Daniel dan apa salahnya aku ungkapkan prsaan aku ke dia” ungkap Emliyang tak bisa tidur.
Bel istirahat berbunyi Emli dan Daniel seperti biasa duduk sambl makan mie ayam di kantin
“Dan ada sesuatu yang yang pengen aku omongin ke kamu..”ungkap Emli yang tidak sabar ingin mengungkapkan persaannya pada Daniel.
“Sama, aku juga ada yang mo diomongin ke kamu, aku mo kasih tahu ke kamu kalo aku hari ni senang bangat..” Dengan wajah berbinar-binar Daniel mengekspresikan ke Emli.
“Ya uda kamu duluan yang ngomong, kayaknya kamu lagi senang bangat hari ini, ujar Emli yang ikut senang sekaligus penasaran.
“aku mo kasih tahu ke kamu kalo aku uda baikan ma ce aku, semalam aku ke rumahnya dan aku minta maaf ma dia, trus dia maafin aku, dan akupun langsung ajak dia jalaj-jalan dan sambil foto box gitu…,ni fotonya. Daniel langsung mengeluarkan foto itudari dompetnya dan langsung memperlihatkan ke Emli.
Emli terdiam sat melihat foto itu seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ternyata Tania sepupunya lah pacar dari Daniel.
The End
kAsIh YaNg tErAbAiKaN
Nama : Emilia
NIM : 2007112084
kAsIh YaNg tErAbAiKaN
Lagu kepastian yang ku tunggu dari gigi mengalun indah di kamar Satria. Cowok ini sedang meratap sedih sambil memandang sebuah foto di tangannya. Ternyata foto itu adalah Emi, kekasih barunya. Kira-kira baru satu bulan mereka jadian, tetapi Satria mulai merasakan perubahan sifat Emi. Hingga pada satu hari Satria benar-benar kecewa tergadap Emi.
“Hi mi…,pulang bareng yuukkk!” Satria mengajak setelah Emi pulang dari kerja kelompok.
“Emmmm…Gimana yah? Aku sudah ada janji nie ma temen-temen kita mo nyelesaiin tugas ibu Leni, ya kan may?” Tanya Emi pada maya yang sedang bingung sendiri.
Maya hanya meng iya kan pertanyaan yang di lemparkan Emi padanya.
“Ya sudah, mungkin lain kali saja ya sat”. Satria pun berlalu dengan penuh kekecewaan.
“Mi, kok kamu ngak mo pulang bareng sama satria sich?? Padahal kan dia tadi sudah nungguin dari kita kerja kelompok,” Tanya maya.
“Emang siapa yang suru nungu. Lagi pula aku lagi males banget pulang bareng dia, bosennn.
“Mi, apa karma Satria sudah ngak punya motor untuk nganterin kamu?” Tanya Maya lagi.
“Aapa… sich biasa ja kali may. Sudahlah gakk usa dipikirin lagi” jawab Emi. Tak lama kemudian datanglah co ganteng yang bernama Nopan dengan selang waktu yang tidak begitu lama.
“Hi…Emi!! Pulang bareng yukk!!!” Ajakan Nopan dari motor yang besar.
“Hi, juga. Tapi nggakk usa kok. Ntar da yang ngambekk” tolak Emi sembari malu-malu
Nopan pun sambil tersenyum manis dengan selung pipinya.
“Sudahlah ayok naikk!!”ajak Nopan yang kedua kalinya.
“May, aku duluan ya…,”Pamitan Emi pada maya
Emipun akhirnya menerima ajakan dari Nopan. Namun tanpa disadari Emi secara diam-dian Satria ternyata masih memata-matai dirinya dari kejauhan.
Mungkin hal itulah yang membuat Satria uringan-uringan seperti sekarang.
Satria ingin sekali mengungkapakan kekesalannya pada Emi. Namun ketika melihat wajah Emi, rasa kesal, marah dan bencipun hilang dan menjadi luluh sehingga membuat Satria tidak berdaya.
Keesokan harinya di sekolah, Satria ingin menghampiri Emi. Namun sepertinya Emi memang tidak begitu mengharapakan kedatangan Satria. Buktinya saja, Emi sedang mengobrol dengan asyiknya bersama Nopan. Alhasil Satriapun menghampiri Maya teaman Emiyang sedang duduk sendiri.
“Hi, May,” Sapa Satria pelan.
“Hi Pan” Balas Maya
“May, aku boleh nanya nggakk??” Satriapun duduk disebelah Maya.
“Boleh, mang Nopan mo Tanya apa?” Tanya Sisil sambil tersenyum.
“Emi! Kan kamu temen deketnya. Aku Cuma mo nanaya, menurut kamu Eami berubah nnggakk?” Tanya Satria serius.
“Beerubah??hehe memangnya pawer rangeer Pan?? Jawab Maya sambil tersenyum lebar.
Ya nggak la Pan..
“Pa Cuma sama aku ja ya??” Mungkin Nopanpun langsdung menjawab.
“Emang sich kadang aku merasa Emi mang pengen menghindar dari kamu. Tapi aku nggak tahu apa alasannya. Kamu sama Eami nggakk ada masalah paa-apa kan?? Atau kalian mang sudah putus?” ujar Maya bertubi-tubi.
“Nggak tuch..aku ma emi baik-baik aja. Aku juga heran , kenapa Emi bisa gitu..”
“aku ngerasa sich, kalu kamu memang sudah gak di anggap lagi ma Emi. Soalnya kalo akau perhatiiin, kamu dicuekin mulu ma dia.
Satripun mengangguk lesu.
“Jadi mau kamu apa sekarang?”
Aku juga nggak tahu mau mo gimana lagi. Kan maya tahu sendiri kalo aku suka ma Emi”
Maya pun menganggukkan kepalanya.
“gini aja, gimana kalo kita kasi Eami waktu 3 hari untuk ngerubah sifatnya. Ntar kita juga Bantu. Tapi….”Mayapun langsung menghentikan ucapannya.
“iya sich. Tapi sekali lagi aku Cuma mau ngingetin kamu aja, sebenarnya Satria itu saying banget ma kamu. Dan aku berharap kamu jangan nyakitin dia. Dan aku saranin, lebih baik kamu bilang langsung ma dia harus menjadi kekasih yang tak dianggap untuk kamu.”
“Tapia pa/?” Tanya Satria penasaran.
“Tapi..,tapi kalo nggak berhasil juga, aku sranin kamuputusin aja Emi dari pada kamu harus makan ati dan jadi kekasih yang nggak pernah di anggap,” terang Maya.
Sejenak Satria menundukan kepala.
“oke. Aku mau. Lagipula percuma akau cinta dan sayang ma orang yang sama sekali nggak cinta ma aku.
Ujar Satria mantap.
Satria lalu beranjak dari duduknya.
“May, aku mo mintak tolong sekali lagi, ma kamu. Tolong tanyain ma Emi, apa cintanya itu mang buat aku atau buat sepeda motornya Nopan,” kata Satria sambil menunjuk pada Emi dan Nopan dan kemudian berlalu sambil meninggalkan tempat duduknya.
Tak terasa dua haripun berlalu. Namun tak ada sedikitpun perubahan sifat Emi kepada Satria. Meski Maya sudah memperingati Emi, tetapi sepertinya Emi tetap cuek dan sudah benar-benar men cap Satria sebagai kekasih yang tak dianggap.
“Mi, kamu masih jadian kan ma Satria?kok kayaknya aku gakk pernah liat kalian jalan baeng lagi?” Tanya Maya ketika bel pulang berbunyi.
“Eamang kalo yang namanya pacaran mesti jalan bareng?gak harus kan?”ujar Emi dengan cuek.
“iya sich…tapi sekali lagi aku Cuma mo ngingetin ma kamu ja, sebenarnya Satria itu benaran sayang bangat ma kamu, dan aku harap kamu janagn nyakitin dia. Dan aku saranin, lebih baik kamu bilang langsung ja ke dia kalo kamu mang sudah gak cinta lagi ke dia dari dia harus jadi kekasih kamu yang tak dianggap” Jelas Maya sambil membawa tasnya pergi meninggalkan Emi.
Tapi ketika di perjalanan, Maya bertemu dengan Satria dan teman-temannya.
“May, panggil Satria sambil menghampiri Maya”
Kenapa Satria?” Tanya Maya.
“Gimna? Kamu udah bilang ma Emi?” Satria balik bertanya.
“uda sich. Tapi kayaknya dia tetap cuek tuh. Ya mudah-mudahan ja besok Emi sudah berubah pikiran, hibur Maya begitu wajah Satria nunduk lemas.
“thanks yan May..”ucap Satria
Keesokkan harinya.
Teet …. Eet!!! Belpun berbunyi tepat setengah satu siang.
Itu berarti semua anak-anak diperbolaehkan pulang.
“May,,,maya…”panggil Emi.
Npa mi, jawab maya dengan jutek.
Aku cumamo mintak maaf ja yang kemarin, mang aku yang salah sudah nyuekin Satria. Setelah dipikir-pikir mang kami pantasnya jadi teman ja. Maya pun tersenyu lega.
Tampak dari kejauhan Stria memanggil Emi dan merekapun berbicara berdua. Tak lama kemudian pembicraanpun berakhir. “Kenapa” Tanya Maya penasaran kita sudah putus may, jawab Emi dengan senyum lebarnya. Aku mang salah selama ini sudah ngegantungin Satria sekarang mungkin lebih baik aku introspeksi diri dulu ja.
“Yaudah kalo gitu yuk kita Lets go.. “ ajak Maya.
Merekapun akhirnya pulang. Namun tampak dari kejauhan Satriamasih memangdangi Emi dan merekapun saling tersenyum
NIM : 2007112084
kAsIh YaNg tErAbAiKaN
Lagu kepastian yang ku tunggu dari gigi mengalun indah di kamar Satria. Cowok ini sedang meratap sedih sambil memandang sebuah foto di tangannya. Ternyata foto itu adalah Emi, kekasih barunya. Kira-kira baru satu bulan mereka jadian, tetapi Satria mulai merasakan perubahan sifat Emi. Hingga pada satu hari Satria benar-benar kecewa tergadap Emi.
“Hi mi…,pulang bareng yuukkk!” Satria mengajak setelah Emi pulang dari kerja kelompok.
“Emmmm…Gimana yah? Aku sudah ada janji nie ma temen-temen kita mo nyelesaiin tugas ibu Leni, ya kan may?” Tanya Emi pada maya yang sedang bingung sendiri.
Maya hanya meng iya kan pertanyaan yang di lemparkan Emi padanya.
“Ya sudah, mungkin lain kali saja ya sat”. Satria pun berlalu dengan penuh kekecewaan.
“Mi, kok kamu ngak mo pulang bareng sama satria sich?? Padahal kan dia tadi sudah nungguin dari kita kerja kelompok,” Tanya maya.
“Emang siapa yang suru nungu. Lagi pula aku lagi males banget pulang bareng dia, bosennn.
“Mi, apa karma Satria sudah ngak punya motor untuk nganterin kamu?” Tanya Maya lagi.
“Aapa… sich biasa ja kali may. Sudahlah gakk usa dipikirin lagi” jawab Emi. Tak lama kemudian datanglah co ganteng yang bernama Nopan dengan selang waktu yang tidak begitu lama.
“Hi…Emi!! Pulang bareng yukk!!!” Ajakan Nopan dari motor yang besar.
“Hi, juga. Tapi nggakk usa kok. Ntar da yang ngambekk” tolak Emi sembari malu-malu
Nopan pun sambil tersenyum manis dengan selung pipinya.
“Sudahlah ayok naikk!!”ajak Nopan yang kedua kalinya.
“May, aku duluan ya…,”Pamitan Emi pada maya
Emipun akhirnya menerima ajakan dari Nopan. Namun tanpa disadari Emi secara diam-dian Satria ternyata masih memata-matai dirinya dari kejauhan.
Mungkin hal itulah yang membuat Satria uringan-uringan seperti sekarang.
Satria ingin sekali mengungkapakan kekesalannya pada Emi. Namun ketika melihat wajah Emi, rasa kesal, marah dan bencipun hilang dan menjadi luluh sehingga membuat Satria tidak berdaya.
Keesokan harinya di sekolah, Satria ingin menghampiri Emi. Namun sepertinya Emi memang tidak begitu mengharapakan kedatangan Satria. Buktinya saja, Emi sedang mengobrol dengan asyiknya bersama Nopan. Alhasil Satriapun menghampiri Maya teaman Emiyang sedang duduk sendiri.
“Hi, May,” Sapa Satria pelan.
“Hi Pan” Balas Maya
“May, aku boleh nanya nggakk??” Satriapun duduk disebelah Maya.
“Boleh, mang Nopan mo Tanya apa?” Tanya Sisil sambil tersenyum.
“Emi! Kan kamu temen deketnya. Aku Cuma mo nanaya, menurut kamu Eami berubah nnggakk?” Tanya Satria serius.
“Beerubah??hehe memangnya pawer rangeer Pan?? Jawab Maya sambil tersenyum lebar.
Ya nggak la Pan..
“Pa Cuma sama aku ja ya??” Mungkin Nopanpun langsdung menjawab.
“Emang sich kadang aku merasa Emi mang pengen menghindar dari kamu. Tapi aku nggak tahu apa alasannya. Kamu sama Eami nggakk ada masalah paa-apa kan?? Atau kalian mang sudah putus?” ujar Maya bertubi-tubi.
“Nggak tuch..aku ma emi baik-baik aja. Aku juga heran , kenapa Emi bisa gitu..”
“aku ngerasa sich, kalu kamu memang sudah gak di anggap lagi ma Emi. Soalnya kalo akau perhatiiin, kamu dicuekin mulu ma dia.
Satripun mengangguk lesu.
“Jadi mau kamu apa sekarang?”
Aku juga nggak tahu mau mo gimana lagi. Kan maya tahu sendiri kalo aku suka ma Emi”
Maya pun menganggukkan kepalanya.
“gini aja, gimana kalo kita kasi Eami waktu 3 hari untuk ngerubah sifatnya. Ntar kita juga Bantu. Tapi….”Mayapun langsung menghentikan ucapannya.
“iya sich. Tapi sekali lagi aku Cuma mau ngingetin kamu aja, sebenarnya Satria itu saying banget ma kamu. Dan aku berharap kamu jangan nyakitin dia. Dan aku saranin, lebih baik kamu bilang langsung ma dia harus menjadi kekasih yang tak dianggap untuk kamu.”
“Tapia pa/?” Tanya Satria penasaran.
“Tapi..,tapi kalo nggak berhasil juga, aku sranin kamuputusin aja Emi dari pada kamu harus makan ati dan jadi kekasih yang nggak pernah di anggap,” terang Maya.
Sejenak Satria menundukan kepala.
“oke. Aku mau. Lagipula percuma akau cinta dan sayang ma orang yang sama sekali nggak cinta ma aku.
Ujar Satria mantap.
Satria lalu beranjak dari duduknya.
“May, aku mo mintak tolong sekali lagi, ma kamu. Tolong tanyain ma Emi, apa cintanya itu mang buat aku atau buat sepeda motornya Nopan,” kata Satria sambil menunjuk pada Emi dan Nopan dan kemudian berlalu sambil meninggalkan tempat duduknya.
Tak terasa dua haripun berlalu. Namun tak ada sedikitpun perubahan sifat Emi kepada Satria. Meski Maya sudah memperingati Emi, tetapi sepertinya Emi tetap cuek dan sudah benar-benar men cap Satria sebagai kekasih yang tak dianggap.
“Mi, kamu masih jadian kan ma Satria?kok kayaknya aku gakk pernah liat kalian jalan baeng lagi?” Tanya Maya ketika bel pulang berbunyi.
“Eamang kalo yang namanya pacaran mesti jalan bareng?gak harus kan?”ujar Emi dengan cuek.
“iya sich…tapi sekali lagi aku Cuma mo ngingetin ma kamu ja, sebenarnya Satria itu benaran sayang bangat ma kamu, dan aku harap kamu janagn nyakitin dia. Dan aku saranin, lebih baik kamu bilang langsung ja ke dia kalo kamu mang sudah gak cinta lagi ke dia dari dia harus jadi kekasih kamu yang tak dianggap” Jelas Maya sambil membawa tasnya pergi meninggalkan Emi.
Tapi ketika di perjalanan, Maya bertemu dengan Satria dan teman-temannya.
“May, panggil Satria sambil menghampiri Maya”
Kenapa Satria?” Tanya Maya.
“Gimna? Kamu udah bilang ma Emi?” Satria balik bertanya.
“uda sich. Tapi kayaknya dia tetap cuek tuh. Ya mudah-mudahan ja besok Emi sudah berubah pikiran, hibur Maya begitu wajah Satria nunduk lemas.
“thanks yan May..”ucap Satria
Keesokkan harinya.
Teet …. Eet!!! Belpun berbunyi tepat setengah satu siang.
Itu berarti semua anak-anak diperbolaehkan pulang.
“May,,,maya…”panggil Emi.
Npa mi, jawab maya dengan jutek.
Aku cumamo mintak maaf ja yang kemarin, mang aku yang salah sudah nyuekin Satria. Setelah dipikir-pikir mang kami pantasnya jadi teman ja. Maya pun tersenyu lega.
Tampak dari kejauhan Stria memanggil Emi dan merekapun berbicara berdua. Tak lama kemudian pembicraanpun berakhir. “Kenapa” Tanya Maya penasaran kita sudah putus may, jawab Emi dengan senyum lebarnya. Aku mang salah selama ini sudah ngegantungin Satria sekarang mungkin lebih baik aku introspeksi diri dulu ja.
“Yaudah kalo gitu yuk kita Lets go.. “ ajak Maya.
Merekapun akhirnya pulang. Namun tampak dari kejauhan Satriamasih memangdangi Emi dan merekapun saling tersenyum
PenYesaLaNkU dErItA Ku
Nama : Emilia
NIM : 2007112084
PenYesaLaNkU dErItA Ku
“GoL..!!!”Sorakan anak SMP Negeri 4 Sekayu menggentarkan dunia menyambut gol pertamanya.
Ya, SMP Negeri 4 Sekayu dihebohkan oleh pertandingan sepak bola persahabatan antara SMP N 4 Sekayu dengan SMP Prabumulih. Dan selama 10 menit belum ada gol yang tercipta baik dari SMP N4 Sekayu maupun SMP Prabumulih. Akhirnya setelah dilakukan perpanjangan waktu, Smp N 4 Sekayu berhasil mencetak gol indah yang tercipta dari kaki Bayu Agustio.
“Ra siapa si nama co itu?”tanya Tessa.
“yang mana?”tanya Zarra sambil matanya bergerak ke sana-kemari. “itu lo yang bernomor punggung 13” yang barusan mencetak gol,” jelas Tessa. “hah lo nggak tahu siapa dia?”. “gue kan anak baru di sini, mana gue tahulah, gimana sich kamu!”
“iya..,iya gue baru sadar, namanya Bayu Agustio. Dia co yang sangat dipopulerin semua ce disini”. “ooo pasri karena parasnya yang ganteng, tinggi, putih, yang buat dia jadi dipopuleri ce disini”.
“nggak muga ah, selain pemnampilan luarnyayang perfect, dia juga pinter, peringkatnya nggak jauh-jauh dari 10 besar. “wah lo tahu tahu banyak tentang dia ya, lo pengangum berat Bayu ya??”
“nggak ah…!!!tepatnya lebih dari sekedar pengagum,” ujar Zarra dalam hati diiringi senyum geli. “Sa kanyin yukk!” ajak Zarra. “Males ah, gue lagi program diet.” “whatzz”lo diet?mau sekurus apa lagi lo? Ntar lo masuk muri lagi sebagai orang yang terkurus se indonesia. AyOlah Tesa! Ntar kantinnya penuh lagi.”ajak Tesaa sambil menarik tangan Zarra.
Zarra dan Tesa sudah berteman sejak kecil karena rumah mereka bersebelahan. Pada saat kelas 5 SD, ayah Tesa dipindah tugas ke jakarta. Namun saat Tesa kelas 3 SMP, ayahnya dipindah tugaskan lagi disini.
Saat pulang sekolah Zara mengajak Tesa ke rumahnya karena saat ini Zara sendiri di rumahnya. Ayah ibunya bekerja di luar kota, paling-paling seminggu sekali pulangnya.
“Ra kenapa lo nggak ikut bonyok lo ja pindah sekolah gitu?”
“nggak ah, tanggung bangat gue pindah , soal nya kan sekarang kita udah kelas 3.” Tesapun menghempaskan tubuhnya di sofa empuk milik Zaraa. “Sa gue ke atas dulu ya… mau ganti baju, gerah ni.” Setelah selesai ganti baju , Zara menemui temannya yang berada di ruang tegah. “napa Tes ? Muka lo keliatannya lagi bingung bangat.”Ah nggak tapi kok tiba-tiba gue jadi ingat Bayu ya. Eh ra kenalin gue dong, siapa tahu gue bisa temenan ma dia.
“em liat nanti ja dech. Oh ya gimana nyokap lo sudah ngelahirin lum?” tiba-tiba Zara mengalihkan pembicaraan. “ Belum, baru aja 5 bulan. Eh kok lo jadi ngalihin pembicaraan. Kenapa lo nggak mau ngenalin gue ke Bayu ya?”
“eh nggak kok gue Cuma” tiba-tiba
“kring-kring….”telepon di rumah Zara berbunyi. Kemudian diangakat oleh bi Munah pembantu Zara.
“siapa bi??” “ini non ada telepon buat non, katanya dari Bayu.” Wajah Zara langsung cemas, sedangkan Tesa heran tak mengerti. “eh bentar ya Sa.” Tesa tak menjawab. “Halo kenapa Bay?” “mau gak kita hari nonton, ada film horor kesukaan kamu. Kata teman-teman sich bagus, amu nggaakk??” “ehe gimana ya, gue gak bisa nich. Soal nya di rumah ue lagi ada Tesa, lo tahu kan?” “just ok, asalamualaikum..” walaikum salam..”
Kemudian Zara kembali ke ruang tengah. “ngapain Bayu nelpon lo?tanya Tesa penasaran. “ohh dia mau pinjam buku catatan matematika gue,” Zara berbohong. “lo kok ngomongnya jadi kaku gitu?”aha nggakk kok biasa ja” “mang Bayu sekelas ma kita?” “ya bangkunya berseberangan ma bangku kita.”
“serius lo, wah bagus nich”ujar Tesa.
Zara telah berdusta pada Tesa. Sebenarnya Bayu adalah pacarnya, tapi ia tak ingin semua orang tahu karena takut di labrak oleh semua ce-ce yang suka ma bayu.
Di dalam kelas,
“duh nih ibu, ngasih soal susah benar. Soalnya cuam dua tapi jawabannya bisa 1 halaman, apalagi no 2, lo bisa ngak??keluh Tesa.
“bentar-bentar, dikit lagi, uh akhirnya selesai juga.
Ok anak-anak, no 1 kita bahas bersama-sama, bu sara menuliskan jawabannya, setelah selesai bu sarah menanyakan soal no 2?saat itu Zara ingin mengangkat tangannya, namun Zara kaget sekali melihat Tesa mengangkat lebih dulu, ia tak menyangka sibatnya setegah itu, tapi ia mencoba bersabar namun kesabarannya menghilang ketika mendengar bu sarah memujinya.
Ketika pulang sekolah.
Tesa…jerit Bayu memanggil, padahal zara berada tepat di samping Tesa.
“kenapa bay?”
“ah ngak, gue cuam salut ja” oh makasih ya, ternyata jerih payah gue gak sis-sia” zara sangat jengkel dengan pengakuan dari Tesa itu.
“eh gue mau ke apotik dulu ya, tadi bu minah nitip obat sakit kepala
‘zara berbohong. “ mau gue antar? Bayu menawarkan. “ngak deh mending lo antar Tesa ja,” zara memancing. “oh ya udah hati-hati yach!
Gila, gue kan ce nya, adsar penghianat, sebel-sebel……Zara ngoceh sepanjang jalan, sampai-sampai orang-orang heran melihatnya.
Di kamarnya Zara sedang duduk di meja belajarnya sambil menulis puisi yang berisikan rasa kekcewaannya pada Tesa dan Bayu pacarnya.
“nih tolong muat puisi gue, ujat Zara males pada putri wakil mading.
Kemudian Zara melihat Tesa menggandeng co yang familiar siapa lagi kalau bukan Bayu
“gue pengen ngomong ma lo”
“gue juga”ujar Zara ketus” “lo duluan deh” “lo jahat banget yu, lo bilang ngak akan suka ma Tesa tapi mana buktinya, gue minta putus.” “bagus mang itu yang mau gue omungin, karena lo udah ngomong jadi bisa ngurangin beban lo dikit.”
“kalian berdua mang jahat, aku benci bangat ma lo berdua, benci…
“randa, tolong kasih surat ini ke Bayu ya,,oh ya gue juga mau pindah hari ini, soalnya gue udah kangen banget ma bonyok gue, ujar Zara sambil berlalu menuju kantor.
“oh lik liat ni puisi Zara yang buat lo” “udah lah paling dia minta di kasihani.”
“Bayu, Bayu Agustio,” pekik randa.
“ada apa sich pekik-pekik kayak di hutan ja, nie ada surat dari Zara buat lo, dia hari ini pindah” dan Bayupun langsung membuka surat Zara yang berisikan kekecewaan dan kepindahannya pada Bayu. “udahlah Bay, paling dia minta dikasihani.
Keesokan harinya Bayu tampak ngak semangat.
‘’anak-anak, kemarin ibu mendengar bahwa sahabat kalian meninggal dunia, Zara.”
“apa Zara, gak mungkin, ini npasti mimpi,” ujar Bayu dalam hati, rasanya ia pengen banget nusuk-nusuk peritnya dengan pisau.
“Zara kemarin mengalami kecelakaan ketika ingin pergi ke terminal, jadi ibu harap kalian dateng untuk berziarah.” Ketiak semua orang sudah pulang berziarah, banyu berlutut sambil mengenangi nisan Zara. Ra gue tahu in semua kesalahan gue secara ngak langsung. Gue nyesel banget, gue, pengen nebus kesalahan gue, dan gue harap lo nunggu gue di sana.sambil terus tersenyum. Gue bakalan neruisn hidup ini dan menjadi begian dari lo” sambil meneteskan air mata penyesalan.
Maaf…maaf kan aku sayang…
The end…
NIM : 2007112084
PenYesaLaNkU dErItA Ku
“GoL..!!!”Sorakan anak SMP Negeri 4 Sekayu menggentarkan dunia menyambut gol pertamanya.
Ya, SMP Negeri 4 Sekayu dihebohkan oleh pertandingan sepak bola persahabatan antara SMP N 4 Sekayu dengan SMP Prabumulih. Dan selama 10 menit belum ada gol yang tercipta baik dari SMP N4 Sekayu maupun SMP Prabumulih. Akhirnya setelah dilakukan perpanjangan waktu, Smp N 4 Sekayu berhasil mencetak gol indah yang tercipta dari kaki Bayu Agustio.
“Ra siapa si nama co itu?”tanya Tessa.
“yang mana?”tanya Zarra sambil matanya bergerak ke sana-kemari. “itu lo yang bernomor punggung 13” yang barusan mencetak gol,” jelas Tessa. “hah lo nggak tahu siapa dia?”. “gue kan anak baru di sini, mana gue tahulah, gimana sich kamu!”
“iya..,iya gue baru sadar, namanya Bayu Agustio. Dia co yang sangat dipopulerin semua ce disini”. “ooo pasri karena parasnya yang ganteng, tinggi, putih, yang buat dia jadi dipopuleri ce disini”.
“nggak muga ah, selain pemnampilan luarnyayang perfect, dia juga pinter, peringkatnya nggak jauh-jauh dari 10 besar. “wah lo tahu tahu banyak tentang dia ya, lo pengangum berat Bayu ya??”
“nggak ah…!!!tepatnya lebih dari sekedar pengagum,” ujar Zarra dalam hati diiringi senyum geli. “Sa kanyin yukk!” ajak Zarra. “Males ah, gue lagi program diet.” “whatzz”lo diet?mau sekurus apa lagi lo? Ntar lo masuk muri lagi sebagai orang yang terkurus se indonesia. AyOlah Tesa! Ntar kantinnya penuh lagi.”ajak Tesaa sambil menarik tangan Zarra.
Zarra dan Tesa sudah berteman sejak kecil karena rumah mereka bersebelahan. Pada saat kelas 5 SD, ayah Tesa dipindah tugas ke jakarta. Namun saat Tesa kelas 3 SMP, ayahnya dipindah tugaskan lagi disini.
Saat pulang sekolah Zara mengajak Tesa ke rumahnya karena saat ini Zara sendiri di rumahnya. Ayah ibunya bekerja di luar kota, paling-paling seminggu sekali pulangnya.
“Ra kenapa lo nggak ikut bonyok lo ja pindah sekolah gitu?”
“nggak ah, tanggung bangat gue pindah , soal nya kan sekarang kita udah kelas 3.” Tesapun menghempaskan tubuhnya di sofa empuk milik Zaraa. “Sa gue ke atas dulu ya… mau ganti baju, gerah ni.” Setelah selesai ganti baju , Zara menemui temannya yang berada di ruang tegah. “napa Tes ? Muka lo keliatannya lagi bingung bangat.”Ah nggak tapi kok tiba-tiba gue jadi ingat Bayu ya. Eh ra kenalin gue dong, siapa tahu gue bisa temenan ma dia.
“em liat nanti ja dech. Oh ya gimana nyokap lo sudah ngelahirin lum?” tiba-tiba Zara mengalihkan pembicaraan. “ Belum, baru aja 5 bulan. Eh kok lo jadi ngalihin pembicaraan. Kenapa lo nggak mau ngenalin gue ke Bayu ya?”
“eh nggak kok gue Cuma” tiba-tiba
“kring-kring….”telepon di rumah Zara berbunyi. Kemudian diangakat oleh bi Munah pembantu Zara.
“siapa bi??” “ini non ada telepon buat non, katanya dari Bayu.” Wajah Zara langsung cemas, sedangkan Tesa heran tak mengerti. “eh bentar ya Sa.” Tesa tak menjawab. “Halo kenapa Bay?” “mau gak kita hari nonton, ada film horor kesukaan kamu. Kata teman-teman sich bagus, amu nggaakk??” “ehe gimana ya, gue gak bisa nich. Soal nya di rumah ue lagi ada Tesa, lo tahu kan?” “just ok, asalamualaikum..” walaikum salam..”
Kemudian Zara kembali ke ruang tengah. “ngapain Bayu nelpon lo?tanya Tesa penasaran. “ohh dia mau pinjam buku catatan matematika gue,” Zara berbohong. “lo kok ngomongnya jadi kaku gitu?”aha nggakk kok biasa ja” “mang Bayu sekelas ma kita?” “ya bangkunya berseberangan ma bangku kita.”
“serius lo, wah bagus nich”ujar Tesa.
Zara telah berdusta pada Tesa. Sebenarnya Bayu adalah pacarnya, tapi ia tak ingin semua orang tahu karena takut di labrak oleh semua ce-ce yang suka ma bayu.
Di dalam kelas,
“duh nih ibu, ngasih soal susah benar. Soalnya cuam dua tapi jawabannya bisa 1 halaman, apalagi no 2, lo bisa ngak??keluh Tesa.
“bentar-bentar, dikit lagi, uh akhirnya selesai juga.
Ok anak-anak, no 1 kita bahas bersama-sama, bu sara menuliskan jawabannya, setelah selesai bu sarah menanyakan soal no 2?saat itu Zara ingin mengangkat tangannya, namun Zara kaget sekali melihat Tesa mengangkat lebih dulu, ia tak menyangka sibatnya setegah itu, tapi ia mencoba bersabar namun kesabarannya menghilang ketika mendengar bu sarah memujinya.
Ketika pulang sekolah.
Tesa…jerit Bayu memanggil, padahal zara berada tepat di samping Tesa.
“kenapa bay?”
“ah ngak, gue cuam salut ja” oh makasih ya, ternyata jerih payah gue gak sis-sia” zara sangat jengkel dengan pengakuan dari Tesa itu.
“eh gue mau ke apotik dulu ya, tadi bu minah nitip obat sakit kepala
‘zara berbohong. “ mau gue antar? Bayu menawarkan. “ngak deh mending lo antar Tesa ja,” zara memancing. “oh ya udah hati-hati yach!
Gila, gue kan ce nya, adsar penghianat, sebel-sebel……Zara ngoceh sepanjang jalan, sampai-sampai orang-orang heran melihatnya.
Di kamarnya Zara sedang duduk di meja belajarnya sambil menulis puisi yang berisikan rasa kekcewaannya pada Tesa dan Bayu pacarnya.
“nih tolong muat puisi gue, ujat Zara males pada putri wakil mading.
Kemudian Zara melihat Tesa menggandeng co yang familiar siapa lagi kalau bukan Bayu
“gue pengen ngomong ma lo”
“gue juga”ujar Zara ketus” “lo duluan deh” “lo jahat banget yu, lo bilang ngak akan suka ma Tesa tapi mana buktinya, gue minta putus.” “bagus mang itu yang mau gue omungin, karena lo udah ngomong jadi bisa ngurangin beban lo dikit.”
“kalian berdua mang jahat, aku benci bangat ma lo berdua, benci…
“randa, tolong kasih surat ini ke Bayu ya,,oh ya gue juga mau pindah hari ini, soalnya gue udah kangen banget ma bonyok gue, ujar Zara sambil berlalu menuju kantor.
“oh lik liat ni puisi Zara yang buat lo” “udah lah paling dia minta di kasihani.”
“Bayu, Bayu Agustio,” pekik randa.
“ada apa sich pekik-pekik kayak di hutan ja, nie ada surat dari Zara buat lo, dia hari ini pindah” dan Bayupun langsung membuka surat Zara yang berisikan kekecewaan dan kepindahannya pada Bayu. “udahlah Bay, paling dia minta dikasihani.
Keesokan harinya Bayu tampak ngak semangat.
‘’anak-anak, kemarin ibu mendengar bahwa sahabat kalian meninggal dunia, Zara.”
“apa Zara, gak mungkin, ini npasti mimpi,” ujar Bayu dalam hati, rasanya ia pengen banget nusuk-nusuk peritnya dengan pisau.
“Zara kemarin mengalami kecelakaan ketika ingin pergi ke terminal, jadi ibu harap kalian dateng untuk berziarah.” Ketiak semua orang sudah pulang berziarah, banyu berlutut sambil mengenangi nisan Zara. Ra gue tahu in semua kesalahan gue secara ngak langsung. Gue nyesel banget, gue, pengen nebus kesalahan gue, dan gue harap lo nunggu gue di sana.sambil terus tersenyum. Gue bakalan neruisn hidup ini dan menjadi begian dari lo” sambil meneteskan air mata penyesalan.
Maaf…maaf kan aku sayang…
The end…
diLeMaKu
nama: Emilia
NIM : 2007112084
diLeMaKu
Pagi yang indah, disambut dengan kicauan burung-burung yang membangunkan setiap rumah, pada saat itu tepat setelah kami mengakhiri ujian semester ganjil, namun berakhirnya semesteran belum menuntaskan semua mata kuliah kami karena masih ada satu mata kuliah lagi yang memang pada saat itu belum tuntas yakni mata kuliah pementasan drama, seluruh mahasiswa dan mahasiswi semester ganjil yang mengikuti mata kuliah ini harus dapat menampilkan sebuah drama yang memerankan peran harus berdasarkan pada seisi kelas itu sendiri. Sebelum kami ditetapkan untuk me,erankan karakter tokoh tersebut secara satu persatu semua mahasiswa dan mahasiswi di casting untuk dapat mengetahui karakter apa yang nantinya akan kami terima Kami yang berada dalam satu lelasyakni kelas V.c terdiri dari 43 orang, jadi tidak memungkinkan semuanya untuk mendapatkan peran secara keseluruhan sehingga sangat banyak sekali yang tidak terpilih menjadi seorang pemain, salah satu diantaranya adalah saya sendiri yang tidak terpilih. “Aku harus menjadi pemain” ujar Heni salah satu teman kami yang sangat antusias pada mata kuliah pementasan drama ini. “Iya kamu ikut casting ja terus” jawab aku yang mengihibur. Dengan kerja kerasnya Henipun akhirnya terpilih menjadi pemain.
Waktu pementasan sudah 1 bulan lagi karena semua pemain sudah terpilih jadi latihan tetap berjalan, sementara semesteran. “Emi kamu kapan ke kampus lagi?Kita kompakan saja satu minggu mau pementasan baru ke kampus lagi?ajak Yuni. Iya aku sich terserah kalian saja, bukannuya kalian yang jadi pemainnya??..Kami semua pulang ke kampung masing-masing, belum lama di kampung kurang lebih 2 hari kami semua sudah mendapat berita di Face book bahwa besok semua mahasiswa dan mahasiswi ke;as V.c harus berada di kampus tepat pukul 9 pagi, aku betul-betul dilema apakah aku harus pergi ke kampus yang menempuh jarak 3 jam dari kampungku atau lebih memilih untuk tidak pergi dengan konsekuensi mendapat nilai D. “Kringg…….Kringgggg halo emi?kamu besok ke kampus nggakk??tanya Ira salah sat dari kelompok kami. Belum tahu ra, mungkin nggakk, karena besok aku mau ikut kakakku pergi” jawab ku dengan penuh kleraguan. Namun setelah berfikir panjang semalaman akupun tidak menemukan jawaban yang pasti hingga pagipun menjelang. Seteah aku terbangun dari tidur tidak tahu kenapa persaan ku mengatakan bahwa aku harus paergi.”pergi saja kalau masih ragu-ragu mungkin saja yang di beritakan temanmu itu benar” saran ibuku yang ikut prihatin dengan keadaanku yang penuh dengan keraguan. Akhirnya akupun pergi, di sepanjang perjalanan aku berfikir apakah pilihan aku ini benar??namun aku tetap optimis bahwa inilah yang terbaik. Sesampai di kampus aku sangat terkejut, “Emi kita di bohongi oleh teman-teman, ibu dosen tidak ada menginformasikan untuk kumpul hari ini” ujar heni temanku yang tiba di kampus lebih dahulu. Aku sangat kecewa akan pernyataan yang dikeluarkan oleh temanku itu, tapi aku yakin bahwa ini semua pasti ada hikmanya.
Kami berlima akhirnya berkumpul di kos-kosannya Heni saling bercerita mengenai keadaan kami yang kurang sehat, untuk menghilangkan rasa kekecewaan kami akhirnya kami berlima memutuskan untuk nonton 21 mungkin dengan begitu kami dapat menghibur diri. Setelah kami nonton, akhirnya pulang ke kosan masing-masing semabri menunggu 3 hari lagi untuk berkumpul dan latihan sedia kala. Aku tidak ikut berperan namun aku terpilih menjadi MC atau pemandu acara, akupun ikut latihan bersama dengan tman-teman lain yang menjadi pemain. Dengan hasil kerja keras dan semangat kami yang tak tanggung-tanggung semuanya berjalan dengan lancer dan hasil yang sangat memuaskan di hati. “Selamat kalian sangat hebat ibu bangga sekali, ibu minta maaf mungkin selama dalam pelatihan ibu ada salah bicara atau ada yang merasa tersakiti” ujar ibu dosen kami penuh dengan rasa haru. “Iya bu kami juga minta maaf mungkin dalam pelatihan ibu ada merasa jengkel atau merasa tersakiti kami juga ingin memohon maaf dari ibu. Dengan berhasilnya kami dalam mementaskan drama tersebut itulah akhir dari kami menggunakan waktu libur semesteran, kami foto-foto bersama dan saling bersalaman, setelah itu kami berpamitan. Kami semua kembali menikmati waktu libur dengan penuh rasa bangga atas berhasilnya pementasan drama yang sudah kami pentaskan.
THe eNd
NIM : 2007112084
diLeMaKu
Pagi yang indah, disambut dengan kicauan burung-burung yang membangunkan setiap rumah, pada saat itu tepat setelah kami mengakhiri ujian semester ganjil, namun berakhirnya semesteran belum menuntaskan semua mata kuliah kami karena masih ada satu mata kuliah lagi yang memang pada saat itu belum tuntas yakni mata kuliah pementasan drama, seluruh mahasiswa dan mahasiswi semester ganjil yang mengikuti mata kuliah ini harus dapat menampilkan sebuah drama yang memerankan peran harus berdasarkan pada seisi kelas itu sendiri. Sebelum kami ditetapkan untuk me,erankan karakter tokoh tersebut secara satu persatu semua mahasiswa dan mahasiswi di casting untuk dapat mengetahui karakter apa yang nantinya akan kami terima Kami yang berada dalam satu lelasyakni kelas V.c terdiri dari 43 orang, jadi tidak memungkinkan semuanya untuk mendapatkan peran secara keseluruhan sehingga sangat banyak sekali yang tidak terpilih menjadi seorang pemain, salah satu diantaranya adalah saya sendiri yang tidak terpilih. “Aku harus menjadi pemain” ujar Heni salah satu teman kami yang sangat antusias pada mata kuliah pementasan drama ini. “Iya kamu ikut casting ja terus” jawab aku yang mengihibur. Dengan kerja kerasnya Henipun akhirnya terpilih menjadi pemain.
Waktu pementasan sudah 1 bulan lagi karena semua pemain sudah terpilih jadi latihan tetap berjalan, sementara semesteran. “Emi kamu kapan ke kampus lagi?Kita kompakan saja satu minggu mau pementasan baru ke kampus lagi?ajak Yuni. Iya aku sich terserah kalian saja, bukannuya kalian yang jadi pemainnya??..Kami semua pulang ke kampung masing-masing, belum lama di kampung kurang lebih 2 hari kami semua sudah mendapat berita di Face book bahwa besok semua mahasiswa dan mahasiswi ke;as V.c harus berada di kampus tepat pukul 9 pagi, aku betul-betul dilema apakah aku harus pergi ke kampus yang menempuh jarak 3 jam dari kampungku atau lebih memilih untuk tidak pergi dengan konsekuensi mendapat nilai D. “Kringg…….Kringgggg halo emi?kamu besok ke kampus nggakk??tanya Ira salah sat dari kelompok kami. Belum tahu ra, mungkin nggakk, karena besok aku mau ikut kakakku pergi” jawab ku dengan penuh kleraguan. Namun setelah berfikir panjang semalaman akupun tidak menemukan jawaban yang pasti hingga pagipun menjelang. Seteah aku terbangun dari tidur tidak tahu kenapa persaan ku mengatakan bahwa aku harus paergi.”pergi saja kalau masih ragu-ragu mungkin saja yang di beritakan temanmu itu benar” saran ibuku yang ikut prihatin dengan keadaanku yang penuh dengan keraguan. Akhirnya akupun pergi, di sepanjang perjalanan aku berfikir apakah pilihan aku ini benar??namun aku tetap optimis bahwa inilah yang terbaik. Sesampai di kampus aku sangat terkejut, “Emi kita di bohongi oleh teman-teman, ibu dosen tidak ada menginformasikan untuk kumpul hari ini” ujar heni temanku yang tiba di kampus lebih dahulu. Aku sangat kecewa akan pernyataan yang dikeluarkan oleh temanku itu, tapi aku yakin bahwa ini semua pasti ada hikmanya.
Kami berlima akhirnya berkumpul di kos-kosannya Heni saling bercerita mengenai keadaan kami yang kurang sehat, untuk menghilangkan rasa kekecewaan kami akhirnya kami berlima memutuskan untuk nonton 21 mungkin dengan begitu kami dapat menghibur diri. Setelah kami nonton, akhirnya pulang ke kosan masing-masing semabri menunggu 3 hari lagi untuk berkumpul dan latihan sedia kala. Aku tidak ikut berperan namun aku terpilih menjadi MC atau pemandu acara, akupun ikut latihan bersama dengan tman-teman lain yang menjadi pemain. Dengan hasil kerja keras dan semangat kami yang tak tanggung-tanggung semuanya berjalan dengan lancer dan hasil yang sangat memuaskan di hati. “Selamat kalian sangat hebat ibu bangga sekali, ibu minta maaf mungkin selama dalam pelatihan ibu ada salah bicara atau ada yang merasa tersakiti” ujar ibu dosen kami penuh dengan rasa haru. “Iya bu kami juga minta maaf mungkin dalam pelatihan ibu ada merasa jengkel atau merasa tersakiti kami juga ingin memohon maaf dari ibu. Dengan berhasilnya kami dalam mementaskan drama tersebut itulah akhir dari kami menggunakan waktu libur semesteran, kami foto-foto bersama dan saling bersalaman, setelah itu kami berpamitan. Kami semua kembali menikmati waktu libur dengan penuh rasa bangga atas berhasilnya pementasan drama yang sudah kami pentaskan.
THe eNd
IbU, kEmAnA SaJa KaU SeLaMa ini?
Nama : Emilia
Nim : 2007112084
IbU, kEmAnA SaJa KaU SeLaMa ini?
Sorotan mata itu telah kumiliki sejak enam bulan yang lalu. Sorotan dingin serta guratan wajah yang dialiri beban hidup. Aku sudah kasep dengan kedinginan itu. Sorotan yang melumpuhkan angan-anganku tentang kehangatan pemiliknya yang acapku temui bersama cincangan ubi. Seperti pagi yang sudah-sudah, dalam kebisuan yang meregang kehampaan ikatan naluri dua insan yang tak berhijab. Sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu aku jajakan bungkusan cincang buatan ibu dari rumah makan kerumah makan. Tapi kali ini aku tidak perlu tergesa-gesa mengayuh federal tuaku, karena pasca Ujian Nasional telah seminggu.
Bungkusan berisi potongan ubi yang digoreng setelah dikukus, sudah tidak membebani sepedaku lagi, ketika melewati lampu merah, di sana tampak seorang bocah laki-laki mendekap setumpuk koran di dada telanjangnya. Lalu kudekati. “Dek, hari ini Palembang Pos memuat pegumuman PMDK‘kan?”
Bocah berusia 8 tahun itu mengangguk bersemangat, mengira aku akan membeli korannya.
“Mbak boleh lihat? Bentar… aja!” Aku membuyarkan kegirangannya.
Mata bulat berbinar yang penuh harap, seketika melotot dan mulutnya ikut bersungut. “Melihat berarti membeli, apalagi memegang!!” hardiknya memaksaku untuk beranjak.
Tanpa putus harapan, kukayuh sepeda yang batangnya sudah tak bermerk ke halte, tidak jauh dari lampu merah. Seorang bapak-bapak bertampang sangar, sedang menikmati selintingan tembakau di cerutu kuno dan sebentangan koran. Tubuhnya yang besar serta wajah yang dihiasi jambang yang lebat membuat aku ciut juga, namun apa boleh buat aku harus coba dulu. “Ya Tuhan… semoga dia…” belum sempat aku berada di sampingnya, tiba-tiba sebuah bus berhenti, bapak itu bergegas melipat koran dan menaiki bus. “Ya…,” aku hanya menghela nafas kecewa, tanpa semangat kunaiki sepeda yang hampir kusandarkan di tiang listrik. “Bagaimana ini, di mana lagi aku bisa lihat koran gratis!” bisik hatiku setengah putus asa. Kayuhanku mulai tak berdaya, sehingga aku pun berhalusinansi, di sebelah kiri pohon Akasia yang rindang melambai ke arahku, menawarkan kesegaran di bawah dekapan dedaunannya yang rimbun. Tanpa piker panjang, kurebahkan sepedaku dan aku pun menyandarkan punggungku di batangnya yang kokoh. Tidak beberapa detik menikmati kesejukan, suara yang tak asing menyapaku.
“Hai… fren… selamat ya… kau diterima di FKIP Kimia Lho…! wah-wah calon guru nih,” tepukan gulungan koran menyusul mendarat di pundakku. “Wow… kau rupanya, Teja? Selalu saja hadir dengan membawa apa yang kubutuhkan. Aku baru saja kepusingan nyari koran.” “Biasa ajalah. O ya, eh iya, aku ikut pergi nemenin kamu interview ya, Rif ?”
“Boleh-boleh! Tapi mana dulu namaku di koran ini? Aku mau lihat sendiri. Sapa tau kamu salah baca lagi.” Mataku sibuk mengamati deretan nama yang tertera di halaman koran. “Tu ha…, belalakan dikit mata tu kawan…”Eka menghujamkan telunjuknya tepat di nama Emilia
“Eh iya, ya! Kalau gitu kita pulang lagi yuk! Kau kubonceng saja kawan.”
Sesampai di tengah halaman, cepat-cepat aku turun dari sepeda tanpa sempat lagi menyandarkannya dengan baik-baik, seraya berlari masuk ke rumah. Kuhampiri sosok laki-laki yang terbaring lemah di sudut ruangan yang berhadapan dengan dapur. “Bah…, Abah… Emi lolos SPMB, Bah! Semoga ini jalan untuk meringankan biaya kuliahku Lengan kurus abah meraih pundakku kemudian bergerak mengusap kepalaku. Dengan nanti.” berlinangan air mata seraya terbata-bata memenggal kalimat. ”Apa pun langkahmu dalam meraih cita-cita, ayah selalu meridhoimu. Jadilah pahlawan dalam bercita-cita.”
Tatkala aku dan abah larut dalam kehangatan, dari dapur terlihat sosok yang sibuk membuka kukusan, sesekali melirik kami dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Sedikit pun ia tidak memberi reaksi atau menanggapi kabar yang kuceritakan. Aku sudah terbiasa menghadapi sikap dingin ibu. Bahkan aku sudah tak ingat lagi dengan kehangatan yang pernah ia berikan. Mungkin itu adalah salah satunya pelengkap penderitaanku selain dari kemiskinan. Ibu terus mengaduk cincangan ubi di kukusan., kurasa ia muak dengan berita yang sedikit pun tak mengubah perekonomian keluarga. Kebisuan tanpa kecairan yang mampu kuciptakan bersama ibu, membuatku membantunya tanpa perintah dan diperintah. Kujerang kuali berisi minyak untuk menggoreng cincangan ubi yang baru selesai diangkat dari kukusan.
Pagi-pagi aku bergegas mengantarkan bungkusan cincang ubi ke warung-warung dan rumah makan. Aku tergesa-gesa, hingga aku mampir ke rumah Maya dan memaksanya untuk meminjam sepeda motor ayahnya.
Di perjalanan Maya begitu laju mengendarai Astrea ayahnya. Tatkala sampai di persimpangan jalan tak beraspal, sisa air hujan di beberapa lobang di jalan mengotori celana Apolo hitamku. Kemudian ban motor pun bocor, Karena sangking laju dan jalan yang buruk, ditambah bannya yang sudah tua.
Teja memandangku iba, ”Semangat sobat! Ini kode-kode alam! Sudah kau pelajari, bukan? Etika interview…” Maya mengembangkan senyumannya.
Dengan sedikit terobati rasa was-wasku oleh sikap teja, segera kubantu ia menyeret astrea ke bengkel yang kebetulan tak jauh dari tempat kami berdiri.“ Teja!”
“Apa sobatku tersayang…?”
“Andai saja Tuhan meminta aku menyerahkan orang yang kucintai, maka aku akan rela ia mengambil ibuku dari pada kamu.” “Ha, apa yang barusan kau ucapkan, kawan? Eling dong! Kasih ibu sepanjang masa, kasih sahabat sepanjang persahabatan.” Maya membayar upah bengkel dan kami pun tancap gas.
Proses interview telah hamper seminggu kulewati, dengan harapan yang semakin menggebu-gebu, kuingin lolos. Aku yakin aku lolos, sebab aku menjawab semua pertanyaan dengan tepat, dan sejujurnya, termasuk propesi orang tuaku. Aku terus bersabar menanti Maya hadir dengan teriakan ‘good luck my fren!’, ‘hebat kau kawan, traktir-traktir!’ atau apalah yang biasa keluar dari mulutnya. Kesabaranku sebenarnya sudah sangat renta, andai saja tak ditopang oleh ucapan bijak abah yang selalu menyejukkan hatiku.
Hari Sabtu sore ibu menugasiku memarut ubi untuk membuat bolu kukus pesanan tetangga yang akan mengadakan arisan. Sambil memarut ubi kuperhatikan lekat-lekat wajah tirus ayah yang semakin tak bergairah lagi. Rambutnya kian hari kian berguguran. Aku iba sekali dengan kondisi ayah, telah hampir empat tahun ia tidak menarik oplet lagi, artinya telah hampir 4 tahun pula ia terbaring. Abah, bertahanlah… tunggu aku menjadi orang. Izinkan aku mengabdi.
Ubi yang kuparut telah selesai. Dan kebetulan ibu baru saja pulang dari pasar. Ketika aku melemas-lemaskan pergelangan tangan, Teja datang dengan langkah dan pias wajah tak menunjukkan kegirangan. Perasaanku berubah tak enak. Apalagi kulihat segulungan koran di tangannya. Pelan sekali ia mendekat kepadaku seraya berbisik. ”Sabar sobat, perjuangan belum berakhir, Tuhan mungkin menakdirkan kita ikut SPMB bersama-sama.” Aku segera bangkit mendengar ucapan Maya“Jangan berbicara takdir, Tej! Kalau itu sama sekali tak mungkin. Kau kan tahu, dari PMDK ini saja aku entah kuliah entah tidak.” Kesal. Teja menatapku tak percaya, “Aku akan membantumu membeli formulir!” ia menmcoba mengertikan aku.
“Simpan bujukanmu, kawan.” Ibu sibuk dengan pekerjaannya, seperti biasa ia seolah-olah tak pernah dengar apa pun tentang permasalahanku. Dadaku semakin panas, pemandangan yang bergantian di benakku hanyalah wajah ayah yang terbaring lemah dan wajah ibu yang dingin. Aku tak lagi berfikir, untuk membenturkan kepalaku ke tembok rumah yang kulihat seperti susunan roti bantal yang empuk Kedinginan itu telah usai seiring tetesan terakhir darah dari ubun-ubunku.***
The End
Nim : 2007112084
IbU, kEmAnA SaJa KaU SeLaMa ini?
Sorotan mata itu telah kumiliki sejak enam bulan yang lalu. Sorotan dingin serta guratan wajah yang dialiri beban hidup. Aku sudah kasep dengan kedinginan itu. Sorotan yang melumpuhkan angan-anganku tentang kehangatan pemiliknya yang acapku temui bersama cincangan ubi. Seperti pagi yang sudah-sudah, dalam kebisuan yang meregang kehampaan ikatan naluri dua insan yang tak berhijab. Sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu aku jajakan bungkusan cincang buatan ibu dari rumah makan kerumah makan. Tapi kali ini aku tidak perlu tergesa-gesa mengayuh federal tuaku, karena pasca Ujian Nasional telah seminggu.
Bungkusan berisi potongan ubi yang digoreng setelah dikukus, sudah tidak membebani sepedaku lagi, ketika melewati lampu merah, di sana tampak seorang bocah laki-laki mendekap setumpuk koran di dada telanjangnya. Lalu kudekati. “Dek, hari ini Palembang Pos memuat pegumuman PMDK‘kan?”
Bocah berusia 8 tahun itu mengangguk bersemangat, mengira aku akan membeli korannya.
“Mbak boleh lihat? Bentar… aja!” Aku membuyarkan kegirangannya.
Mata bulat berbinar yang penuh harap, seketika melotot dan mulutnya ikut bersungut. “Melihat berarti membeli, apalagi memegang!!” hardiknya memaksaku untuk beranjak.
Tanpa putus harapan, kukayuh sepeda yang batangnya sudah tak bermerk ke halte, tidak jauh dari lampu merah. Seorang bapak-bapak bertampang sangar, sedang menikmati selintingan tembakau di cerutu kuno dan sebentangan koran. Tubuhnya yang besar serta wajah yang dihiasi jambang yang lebat membuat aku ciut juga, namun apa boleh buat aku harus coba dulu. “Ya Tuhan… semoga dia…” belum sempat aku berada di sampingnya, tiba-tiba sebuah bus berhenti, bapak itu bergegas melipat koran dan menaiki bus. “Ya…,” aku hanya menghela nafas kecewa, tanpa semangat kunaiki sepeda yang hampir kusandarkan di tiang listrik. “Bagaimana ini, di mana lagi aku bisa lihat koran gratis!” bisik hatiku setengah putus asa. Kayuhanku mulai tak berdaya, sehingga aku pun berhalusinansi, di sebelah kiri pohon Akasia yang rindang melambai ke arahku, menawarkan kesegaran di bawah dekapan dedaunannya yang rimbun. Tanpa piker panjang, kurebahkan sepedaku dan aku pun menyandarkan punggungku di batangnya yang kokoh. Tidak beberapa detik menikmati kesejukan, suara yang tak asing menyapaku.
“Hai… fren… selamat ya… kau diterima di FKIP Kimia Lho…! wah-wah calon guru nih,” tepukan gulungan koran menyusul mendarat di pundakku. “Wow… kau rupanya, Teja? Selalu saja hadir dengan membawa apa yang kubutuhkan. Aku baru saja kepusingan nyari koran.” “Biasa ajalah. O ya, eh iya, aku ikut pergi nemenin kamu interview ya, Rif ?”
“Boleh-boleh! Tapi mana dulu namaku di koran ini? Aku mau lihat sendiri. Sapa tau kamu salah baca lagi.” Mataku sibuk mengamati deretan nama yang tertera di halaman koran. “Tu ha…, belalakan dikit mata tu kawan…”Eka menghujamkan telunjuknya tepat di nama Emilia
“Eh iya, ya! Kalau gitu kita pulang lagi yuk! Kau kubonceng saja kawan.”
Sesampai di tengah halaman, cepat-cepat aku turun dari sepeda tanpa sempat lagi menyandarkannya dengan baik-baik, seraya berlari masuk ke rumah. Kuhampiri sosok laki-laki yang terbaring lemah di sudut ruangan yang berhadapan dengan dapur. “Bah…, Abah… Emi lolos SPMB, Bah! Semoga ini jalan untuk meringankan biaya kuliahku Lengan kurus abah meraih pundakku kemudian bergerak mengusap kepalaku. Dengan nanti.” berlinangan air mata seraya terbata-bata memenggal kalimat. ”Apa pun langkahmu dalam meraih cita-cita, ayah selalu meridhoimu. Jadilah pahlawan dalam bercita-cita.”
Tatkala aku dan abah larut dalam kehangatan, dari dapur terlihat sosok yang sibuk membuka kukusan, sesekali melirik kami dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Sedikit pun ia tidak memberi reaksi atau menanggapi kabar yang kuceritakan. Aku sudah terbiasa menghadapi sikap dingin ibu. Bahkan aku sudah tak ingat lagi dengan kehangatan yang pernah ia berikan. Mungkin itu adalah salah satunya pelengkap penderitaanku selain dari kemiskinan. Ibu terus mengaduk cincangan ubi di kukusan., kurasa ia muak dengan berita yang sedikit pun tak mengubah perekonomian keluarga. Kebisuan tanpa kecairan yang mampu kuciptakan bersama ibu, membuatku membantunya tanpa perintah dan diperintah. Kujerang kuali berisi minyak untuk menggoreng cincangan ubi yang baru selesai diangkat dari kukusan.
Pagi-pagi aku bergegas mengantarkan bungkusan cincang ubi ke warung-warung dan rumah makan. Aku tergesa-gesa, hingga aku mampir ke rumah Maya dan memaksanya untuk meminjam sepeda motor ayahnya.
Di perjalanan Maya begitu laju mengendarai Astrea ayahnya. Tatkala sampai di persimpangan jalan tak beraspal, sisa air hujan di beberapa lobang di jalan mengotori celana Apolo hitamku. Kemudian ban motor pun bocor, Karena sangking laju dan jalan yang buruk, ditambah bannya yang sudah tua.
Teja memandangku iba, ”Semangat sobat! Ini kode-kode alam! Sudah kau pelajari, bukan? Etika interview…” Maya mengembangkan senyumannya.
Dengan sedikit terobati rasa was-wasku oleh sikap teja, segera kubantu ia menyeret astrea ke bengkel yang kebetulan tak jauh dari tempat kami berdiri.“ Teja!”
“Apa sobatku tersayang…?”
“Andai saja Tuhan meminta aku menyerahkan orang yang kucintai, maka aku akan rela ia mengambil ibuku dari pada kamu.” “Ha, apa yang barusan kau ucapkan, kawan? Eling dong! Kasih ibu sepanjang masa, kasih sahabat sepanjang persahabatan.” Maya membayar upah bengkel dan kami pun tancap gas.
Proses interview telah hamper seminggu kulewati, dengan harapan yang semakin menggebu-gebu, kuingin lolos. Aku yakin aku lolos, sebab aku menjawab semua pertanyaan dengan tepat, dan sejujurnya, termasuk propesi orang tuaku. Aku terus bersabar menanti Maya hadir dengan teriakan ‘good luck my fren!’, ‘hebat kau kawan, traktir-traktir!’ atau apalah yang biasa keluar dari mulutnya. Kesabaranku sebenarnya sudah sangat renta, andai saja tak ditopang oleh ucapan bijak abah yang selalu menyejukkan hatiku.
Hari Sabtu sore ibu menugasiku memarut ubi untuk membuat bolu kukus pesanan tetangga yang akan mengadakan arisan. Sambil memarut ubi kuperhatikan lekat-lekat wajah tirus ayah yang semakin tak bergairah lagi. Rambutnya kian hari kian berguguran. Aku iba sekali dengan kondisi ayah, telah hampir empat tahun ia tidak menarik oplet lagi, artinya telah hampir 4 tahun pula ia terbaring. Abah, bertahanlah… tunggu aku menjadi orang. Izinkan aku mengabdi.
Ubi yang kuparut telah selesai. Dan kebetulan ibu baru saja pulang dari pasar. Ketika aku melemas-lemaskan pergelangan tangan, Teja datang dengan langkah dan pias wajah tak menunjukkan kegirangan. Perasaanku berubah tak enak. Apalagi kulihat segulungan koran di tangannya. Pelan sekali ia mendekat kepadaku seraya berbisik. ”Sabar sobat, perjuangan belum berakhir, Tuhan mungkin menakdirkan kita ikut SPMB bersama-sama.” Aku segera bangkit mendengar ucapan Maya“Jangan berbicara takdir, Tej! Kalau itu sama sekali tak mungkin. Kau kan tahu, dari PMDK ini saja aku entah kuliah entah tidak.” Kesal. Teja menatapku tak percaya, “Aku akan membantumu membeli formulir!” ia menmcoba mengertikan aku.
“Simpan bujukanmu, kawan.” Ibu sibuk dengan pekerjaannya, seperti biasa ia seolah-olah tak pernah dengar apa pun tentang permasalahanku. Dadaku semakin panas, pemandangan yang bergantian di benakku hanyalah wajah ayah yang terbaring lemah dan wajah ibu yang dingin. Aku tak lagi berfikir, untuk membenturkan kepalaku ke tembok rumah yang kulihat seperti susunan roti bantal yang empuk Kedinginan itu telah usai seiring tetesan terakhir darah dari ubun-ubunku.***
The End
Langganan:
Postingan (Atom)