Rabu, 14 Juli 2010

DIA TAK PERNAH TAHU

DIA TAK PERNAH TAHU
Oleh: ROSITA DEWI

Sudah hampir satu minggu aku mengenal laki-laki yang bernama “Nanda”. Namun, biarpun begitu, untuk bertatap muka atau bertemu itu tidak pernah terjadi antara aku dan dia. Perkenalan pun terjadi begitu saja. Aku tak berpikir untuk mengenalnya lebih dekat. Dan pada akhirnya, Nanda mengajakku bertemu, yang dipesankan lewat temannya. Satu minggu pun berlalu begitu saja.

Pada suatu saat….

“Dies, kamu nunggu siapa sih?”, tanya Vero heran. Aku tetap saja diam dan terus menunggu. Hampir setengah jam aku menunggu, hingga aku berpikir kalau dia tak akan datang. Dan tiba-tiba dari belakangku, dia menghampiriku. Aku pun terkejut, dan dia langsung menyapaku.

“Hai….”, sapanya. Aku terdiam.

“Hai….., kamu Gladies kan….?”, tanya Nanda.

“Gimana kalo kita pulang bareng aja?”, tawar Nanda padaku.

Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan pulang. Sepanjang jalan aku berusaha berinteraksi dengannya dan mengajaknya bicara, walaupun hatiku saat itu penuh rasa tak menentu.

Kemarin itu adalah awal pertemuanku dengan Nanda. Rupanya Nanda anak yang baik dan juga manis. Malamnya, sebelum tidur aku selalu mengingat wajahnya, dan dari ruang tamu, aku mendengar suara telepon berdering. Aku buru-buru mengangkatnya, aku terkejut setelah ku dengar suara yang berbicara, ternyata itu Nanda. Kami pun bicara panjang lebar, dan pada kesimpulan pembicaraan kami di telepon, Nanda mengajakku untuk berteman yaitu teman yang sangat spesial. Aku tidak bisa menjawabnya pada saat itu, tapi Nanda siap menunggu jawabanku esok.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Nanda meneleponku kembali. Rupanya, Nanda meminta jawaban tentang pertanyaannya kemarin. Aku berpikir sejenak, lalu aku pun menerima untuk menjadi pacarnya dengan senang hati.

Hari - kehari, waktu pun berlalu dan hubungan kami hanya berjalan melalui komunikasi telepon saja. Aku menyadari kalau kami sibuk dengan urusan sekolah masing-masing, di sekolah aku berusaha mengajaknya bertemu, namun pertemuan itu berlalu dengan cepat karena hanya pada saat jam istirahat. Aku tak tahu siapa sebenarnya Nanda itu, perasaanku hanya sebatas memiliki hubungan kekasih, aku selalu merasakan hal tersebut, tapi aku selalu percaya rasa cintanya melebihi apa yang aku rasakan.

Siang itu aku berada di rumah temanku. Begitulah kegiatanku di saat hari libur tiba, dan aku menyempatkan diri untuk menelpon Nanda. Kebetulan sekali, Nanda berada di rumah, obrolan demi obrolan terus mengalir, seperti halnya orang yang menjalin hubungan baik. Dan Nanda memberikan perhatiannya padaku. Aku merasa lega dan senang mendapatkan perhatian dari Nanda.

“Dies, habis nelpon Nanda ya?”, ledek Caca padaku.

Begitulah, aku selalu mengelak dari tebakan teman-temanku. Dari sekian banyak temanku, Caca lah yang paling dekat denganku. Dan tiba-tiba, Nanda menjemputku, aku tidak suka itu. Ternyata, Caca lah yang menelpon Nanda untuk menjemputku.

“Nanda !”, kagetku. “Kamu…? Aku kan nggak minta dijemput, ini kerjaan Caca lho”, ujarku padanya.

“Nggak apa-apakan”, jawab Nanda.
Saat itu aku benar-benar kesal. Aku tahu Nanda sangat perhatian padaku, tapi apa yang ia lakukan salah satu hal yang nggak aku suka. Dan akhirnya, sore pun tiba, aku pulang bersama Nanda. Masih dengan rasa kekesalan yang aku rasakan, sepanjang perjalanan aku hanya diam, setiap perkataan Nanda ku biarkan seperti air yang mengalir.

Lagi-lagi rasa kekesalanku bertambah pada Nanda, ketika Nanda bersikeras untuk mengantarku sampai ke depan rumah. Aku tetap mengelak masih dengan pendirianku sebelumnya. Dan akhirnya, Nanda marah padaku. Nanda melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, yang tak memperdulikan perasaanku saat ini.

Ternyata kemarahan Nanda benar-benar memuncak. Sejak kejadian itu Nanda absen menelponku. Tiga hari berlalu aku tak tahu tentang beritanya, aku resah, kemarahannya membuatku tak mengerti. Saaat itu aku sadar kalo aku yang salah, tapi aku tak kuasa melakukan itu. Dan aku merasa kalo Nanda nggak akan mau menerima telepon dari ku lagi. Saat itu terlintas dalam pikiranku untuk mengetes perasaannya padaku, suatu keputusan yang tak pernah terlintas di dalam pikiranku benar-benar terjadi.

“Nanda, beberapa hari ini udah aku pikrin baik-baik. Ternyata aku nggak bisa bener-bener mengerti kamu. Nanda, lebih baik kita jadi teman aja ya. Mungkin itu lebih baik, aku harap kamu nggak marah”.

Kata-kata itu ku kirim lewat sms, dan nggak berapa lama apa yang aku dapatkan. Nanda nerima begitu aja, dia menerima keputusanku tanpa bertanya apakah itu keputusan terakhirku. Ternyata apa yang aku pikirin tentangnya jauh dari keinginanku. Semua yang dia rasain hanya sebatas kekesalan saja, aku sadar semua udah berakhir, dan aku nggak bisa berkata-kata lagi. Jawabannya udah begitu jelas buat aku. Biarlah dia nggak pernah tau tentang semuanya.

*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar