Rabu, 14 Juli 2010

DIA TAK PERNAH TAHU

DIA TAK PERNAH TAHU
Oleh: ROSITA DEWI

Sudah hampir satu minggu aku mengenal laki-laki yang bernama “Nanda”. Namun, biarpun begitu, untuk bertatap muka atau bertemu itu tidak pernah terjadi antara aku dan dia. Perkenalan pun terjadi begitu saja. Aku tak berpikir untuk mengenalnya lebih dekat. Dan pada akhirnya, Nanda mengajakku bertemu, yang dipesankan lewat temannya. Satu minggu pun berlalu begitu saja.

Pada suatu saat….

“Dies, kamu nunggu siapa sih?”, tanya Vero heran. Aku tetap saja diam dan terus menunggu. Hampir setengah jam aku menunggu, hingga aku berpikir kalau dia tak akan datang. Dan tiba-tiba dari belakangku, dia menghampiriku. Aku pun terkejut, dan dia langsung menyapaku.

“Hai….”, sapanya. Aku terdiam.

“Hai….., kamu Gladies kan….?”, tanya Nanda.

“Gimana kalo kita pulang bareng aja?”, tawar Nanda padaku.

Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan pulang. Sepanjang jalan aku berusaha berinteraksi dengannya dan mengajaknya bicara, walaupun hatiku saat itu penuh rasa tak menentu.

Kemarin itu adalah awal pertemuanku dengan Nanda. Rupanya Nanda anak yang baik dan juga manis. Malamnya, sebelum tidur aku selalu mengingat wajahnya, dan dari ruang tamu, aku mendengar suara telepon berdering. Aku buru-buru mengangkatnya, aku terkejut setelah ku dengar suara yang berbicara, ternyata itu Nanda. Kami pun bicara panjang lebar, dan pada kesimpulan pembicaraan kami di telepon, Nanda mengajakku untuk berteman yaitu teman yang sangat spesial. Aku tidak bisa menjawabnya pada saat itu, tapi Nanda siap menunggu jawabanku esok.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Nanda meneleponku kembali. Rupanya, Nanda meminta jawaban tentang pertanyaannya kemarin. Aku berpikir sejenak, lalu aku pun menerima untuk menjadi pacarnya dengan senang hati.

Hari - kehari, waktu pun berlalu dan hubungan kami hanya berjalan melalui komunikasi telepon saja. Aku menyadari kalau kami sibuk dengan urusan sekolah masing-masing, di sekolah aku berusaha mengajaknya bertemu, namun pertemuan itu berlalu dengan cepat karena hanya pada saat jam istirahat. Aku tak tahu siapa sebenarnya Nanda itu, perasaanku hanya sebatas memiliki hubungan kekasih, aku selalu merasakan hal tersebut, tapi aku selalu percaya rasa cintanya melebihi apa yang aku rasakan.

Siang itu aku berada di rumah temanku. Begitulah kegiatanku di saat hari libur tiba, dan aku menyempatkan diri untuk menelpon Nanda. Kebetulan sekali, Nanda berada di rumah, obrolan demi obrolan terus mengalir, seperti halnya orang yang menjalin hubungan baik. Dan Nanda memberikan perhatiannya padaku. Aku merasa lega dan senang mendapatkan perhatian dari Nanda.

“Dies, habis nelpon Nanda ya?”, ledek Caca padaku.

Begitulah, aku selalu mengelak dari tebakan teman-temanku. Dari sekian banyak temanku, Caca lah yang paling dekat denganku. Dan tiba-tiba, Nanda menjemputku, aku tidak suka itu. Ternyata, Caca lah yang menelpon Nanda untuk menjemputku.

“Nanda !”, kagetku. “Kamu…? Aku kan nggak minta dijemput, ini kerjaan Caca lho”, ujarku padanya.

“Nggak apa-apakan”, jawab Nanda.
Saat itu aku benar-benar kesal. Aku tahu Nanda sangat perhatian padaku, tapi apa yang ia lakukan salah satu hal yang nggak aku suka. Dan akhirnya, sore pun tiba, aku pulang bersama Nanda. Masih dengan rasa kekesalan yang aku rasakan, sepanjang perjalanan aku hanya diam, setiap perkataan Nanda ku biarkan seperti air yang mengalir.

Lagi-lagi rasa kekesalanku bertambah pada Nanda, ketika Nanda bersikeras untuk mengantarku sampai ke depan rumah. Aku tetap mengelak masih dengan pendirianku sebelumnya. Dan akhirnya, Nanda marah padaku. Nanda melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, yang tak memperdulikan perasaanku saat ini.

Ternyata kemarahan Nanda benar-benar memuncak. Sejak kejadian itu Nanda absen menelponku. Tiga hari berlalu aku tak tahu tentang beritanya, aku resah, kemarahannya membuatku tak mengerti. Saaat itu aku sadar kalo aku yang salah, tapi aku tak kuasa melakukan itu. Dan aku merasa kalo Nanda nggak akan mau menerima telepon dari ku lagi. Saat itu terlintas dalam pikiranku untuk mengetes perasaannya padaku, suatu keputusan yang tak pernah terlintas di dalam pikiranku benar-benar terjadi.

“Nanda, beberapa hari ini udah aku pikrin baik-baik. Ternyata aku nggak bisa bener-bener mengerti kamu. Nanda, lebih baik kita jadi teman aja ya. Mungkin itu lebih baik, aku harap kamu nggak marah”.

Kata-kata itu ku kirim lewat sms, dan nggak berapa lama apa yang aku dapatkan. Nanda nerima begitu aja, dia menerima keputusanku tanpa bertanya apakah itu keputusan terakhirku. Ternyata apa yang aku pikirin tentangnya jauh dari keinginanku. Semua yang dia rasain hanya sebatas kekesalan saja, aku sadar semua udah berakhir, dan aku nggak bisa berkata-kata lagi. Jawabannya udah begitu jelas buat aku. Biarlah dia nggak pernah tau tentang semuanya.

*TAMAT*

RAHASIA HATI

RAHASIA HATI
Oleh: ROSITA DEWI

“Salahku yang tak mengerti arti dari kenyataan hidup. Kau bukan untukku, aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, perasaan yang seperti ini membuat hidupku menjadi tak tenang”, kata Agnes yang sedang aktif dengan komputernya sambil memandangi fotonya.

“Hai, Agnes. Lagi ngapain?”, suara Dimas sahabat kecilnya Agnes yang mengagetkan Agnes.

“Ah nggak…., aku nggak lagi ngapa-ngapain kok ! Kamu ini kayak tuyul aja tiba-tiba ada dalam kamar aku”, kata Agnes sambil memutar kursinya.

“Kalo nggak lagi apa-apa, kenapa aku ketok pintu kamar kamu, kamunya diem aja, kamu ngelamun ya?”, tanya Dimas sambil mengambil gitar.

“Dim, sampe kapan aku harus bersabar. Aku ngeharapin banget dia jadi milik aku !!! Kamu tahu kan aku suka banget sama dia sejak tiga tahun lalu. Setiap pulang sekolah aku sering banget liat dia jalan sama pacarnya, dan mereka keliatan mesra banget. Dimaasssss…kamu denger nggak sih aku ngomong….?!!!”, ujar Agnes sambil melemparkan pensil ke arah Dimas.

“Apa-apaan sih, sakit tau! Aku dengerin kok!”, jawab Dimas. “Kamu sabar aja deh, Nes. Siapa tahu ntar dia putusan sama pacarnya dan dia pasti bisa jadi milik kamu”, ucap Dimas meyakinkan Agnes.

“Agnes…, nih Kak Alda udah datang. Kamu latihan piano dulu. Main-main sama Dimas ntar disambung lagi aja”, kata Mamanya di depan pintu kamarnya.

“Iya Ma”, jawab Agnes sambil bersiap dan turun. “Sampe ketemu besok yak, Dim. Da…da…Makasih nasehatnya yak”, kata Agnes pada Dimas.

Di sekolah Agnes langsung masuk kelas dan duduk. Tak lama kemudian suara Egi pun terdengar memanggil Agnes.

“Agnes…..! Kamu dipanggil sama Dimas, dia ada di perpustakaan sekarang”, kata Egi.

“Oh iiii…ya, makasih yak Gi”, jawab Agnes dengan gugup.

“Dimasss, apa-apaan sih kamu? Kamu sengaja nyuruh Egi buat manggilin aku yak?”, tanya Agnes.

“Iya, tapi kamu suka kan?”, jawab Dimas sambil ngeledek Agnes.

“Suka sih pasti, tapi aku kaget dan selalu nggak PeDe kalo di depan dia!”, ujar Agnes.

“Kenapa harus nggak PeDe, kamu cantik, pintar, terus apa lagi yang kurang? Emang sih…kamu ada kekurangan!”. jawab Dimas lagi.

“Apa kekurangan aku…?”, tanya Agnes.

“Kekurangan kamu adalah suka menyia-nyiakan kesempatan. Seharusnya kamu ajak Egi ngobrol, kan nggak ada salahnya kalo kamu minta dia nemenin kamu ke perpus tadi. Toh kamu udah lumayan dekat”, jawab Dimas.

“ Iya emang, tapi gimana mau minta dia nemenin aku kesini tadi? Dia kan udah punya pacar ntar takutnya pacarnya marah lagi”, jawab Agnes.

“Kamu tahu kan kalo belum nikah, kan masih milik bersama”, ujar Dimas sambil berjalan pergi meninggalkan Agnes sendirian di perpus.

Nggak lama, Egi datang mendekati Agnes. Dan……

“Hai Nes, lagi baca buku ya?”, tanya Egi. “Aku kesini bukan buat baca buku atau cari buku, kan katanya kamu yang manggil aku kesini?”, ujar Egi.

Iya, aku tahu, jawab Agnes dalam hati. Ini pasti kerjaannya Dimas. Dasar, kalo mo bikin rencana bilang dulu, jadi nggak kayak gini kejadiannya.

“Hallo…, kok malah ngelamun sih…!”, Egi melambaikan tangannya di depan wajah Agnes, dan Agnes pun tersadar dari lamunannya.

“Oh.. Sorry…aku lupa, maklum lagi serius baca buku, jadi aku lupa kalo aku yang nyuruh Dimas buat panggil kamu”, jawab Agnes.

“Oh ya, nyantai aja lagi. Aku nggak marah kok, emangnya ada apa sih? Tumben manggil aku?”, tanya Egi.

“Iya, begini, kamu mo nggak temenin aku beli sesuatu ntar pulang sekolah?”, tanya Agnes.

“Pulang sekolah, kayaknya nggak bisa deh”, jawab Egi. “Soalnya hari ini bertepatan dengan satu tahun kami pacaran. Jadi…sepulang sekolah ini aku mo ngasih kejutan sama pacar aku”, jawab Egi yang sedikit mengecewakan Agnes.

“Kamu sayang banget ya sama pacar kamu itu?”, tanya Agnes sedikit penasaran.

“Iya, tapi kamu juga sayang kan sama Dimas pacar kamu itu?”, Egi balik bertanya.
“Iya emang, tapi rasa sayang itu nggak lebih dari teman biasa dan kami bukannya sepasang kekasih kok…”, jawab Agnes menjelaskan.

“Oh ya, gimana kalo perginya besok aja, aku jemput kamu di rumah”, tawar Egi.

“Oh nggak usah, aku bisa minta temenin Dimas kok!”, jawab Agnes. Aku nggak mo ngerepotin kamu. Lagi pula aku butuhnya hari ini”, Agnes menolak tawaran Egi.

Sepulang sekolah, Agnes menceritakan semuanya kepada Dimas. Dasar bodoh. Kenapa kamu tolak tawaran Egi?”, gumam Dimas.

“Nggak Dim, udah cukup, aku udah capek dan bosan dengan perasaan ini”, jawab Agnes. Dan Agnes meletakkan kepalanya ke punggung Dimas sambil menangis.

“Ya udah, aku pengen ke Yogya aja, dan aku bakal berusaha melupakan semua ini. Lagipula tante aku ngajak ke Yogya dan tinggal sama dia”, ujar Agnes.

“Siapa yang mau curhat dan nemenin aku lagi?”, tanya Dimas dengan perasaan tak rela.

“Ya kan ada telpon, aku bisa menghubungi kamu lewat telpon aja, kita masih bisa curhat kok”, jawab Agnes. “Dimas…., cuma ini salah satu jalan menuju gerbang kebahagiaan hidupku dan buat menutup kesedihanku. Dimas, aku juga nggak mau kehilangan kamu tapi ini jalan terbaik buat aku”, ucap Agnes.

“Agnes…, kalo emang di Yogya bisa buat kamu bahagia, aku akan sepenuh hati untuk membantu kamu mengurus kepindahan sekolah”, jawab Dimas dengan memelas.

Keesokan harinya di sekolah, Dimas mengurus semua surat-surat pindah Agnes, sedangkan Agnes duduk melamun di bangku kelas. Dalam hatinya, Agnes sangat berat hati meninggalkan kedua orang yang sangat ia sayangi, yaitu Dimas yang udah dianggepnya kayak kakaknya sendiri dan Egi yang sudah lama ia taksir.

“Agnes, ini surat pindahmu”, kata Dimas sambil memberikan surat.

Besoknya, Agnes berkata kepada Dimas, “Dim, mau nggak kamu nolongin aku?”

“Iya, apa yang bisa aku bantu?”, jawab Dimas.

“Tolong kasih surat ini sama Egi ya, dan sampein salam maaf aku sama dia”, ujar Agnes dengan wajah yang sendu.

“Agnes, aku pengen ngomong sesuatu yang selama ini aku simpan, tapi berhubung kita nggak bakalan ketemu lagi maka aku sekarang akan mencoba untuk berani mengatakannya sama kamu. Jujur, aku emang suka cemburu dan aku sangat rindu sama kamu. Aku nggak bisa melakukan yang seharusnya aku lakukan”, Dimas menatap Agnes.

Dari kejauhan Egi berteriak, “Dimas, kenapa kamu nggak pernah bilang kalo Agnes suka sama aku?!”.

“Itu nggak penting, lagipula Agnes nggak mau merusak hubungan kamu dengan pacar kamu. Dan yang Agnes mau dari kamu cuma senyuman kamu dan pengertian kamu aja. Memang cinta nggak bisa dipaksain, mungkin kepergiannya ini akan dia bisa menemukan kebahagiaan yang sama dengan apa yang dia berikan”, ujar Dimas menjelaskan.

Dimas, kamu adalah sahabat yang baik”, ucap Egi sambil menepuk bahu Dimas.

“Aku sayang dan mencintainya tapi cintanya itu cuma buat kamu Dimas”, dan Egi pun meninggalkan Dimas.
“Dimasssssssss…, selamat tinggal !”, ucap Agnes dengan senyuman kecil sambil menuju ke dalam mobil yang akan menuju ke Yogya.

Di tempat lain, Dimas memberikan surat Agnes untuk Egi. “Ini surat Agnes buat kamu, Egi”, Dimas pun langsung pergi.

Dengan perasaan senang, Egi membuka surat itu dan langsung membacanya……

Palembang, 29 April 2007
Salam sayang,
Egi, mungkin setelah kamu membaca surat ini aku udah pindah ke Yogya. Maaf kalo aku udah menyita waktu kamu. Maafin aku juga yang selama ini mencuri pandang untuk liat kamu, perhatiin kamu, mikirin kamu, dan semakin sering aku mikirin kamu semakin benci aku sama diri aku sendiri. Nggak tau kenapa perasaan ini ada sama aku, aku juga nggak ngerti, dan mungkin kamu nggak pernah ngerasain perasaan aku ini.
Aku tau kalo emang cinta itu nggak perlu dipaksain. Dan cinta itu nggak harus saling memiliki. Asal kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Kamu udah punya seseorang yang bisa menjadi pendamping kamu, dan bahagia mu adalah bahagiaku.

Tertanda,
-AGNES-

*TAMAT*

C I N T A

C I N T A
Oleh: ROSITA DEWI

Cinta….
Bisa membuat aku tersenyum
Membuat aku tertawa
Membuat aku ceria
Tapi cinta juga bisa….
Membuat aku sedih
Membuat aku bingung
Membuat aku menangis

Cinta….
Aku tak pernah bisa
Melihatnya, merabanya
Aku hanya bisa rasakan
Getaran yang ku sebut cinta

Cinta adalah hal yang terindah
Yang bisa diberikan oleh hidup
Karena betapapun menyedihkan
Betapapun menyakitkan
Ia tetap bernama cinta

Cinta….
Satu kata berjuta makna

CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI

CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI
Oleh: ira
Ade dan Ria sama-sama siswa SMP. Mereka duduk di bangku sekolah kelas tiga. Ade kelas tiga satu sedangkan Ria kelas tiga dua. Mereka sama-sama siswa yang pandai setiap pembagian buku rapor mereka mendapat juara pertama di masing-masing kelas mereka. Dengan kepandaian mereka, mereka saling mengagumi. Walaupan mereka pandai tapi mereka tidak sombong, mereka mau mangajari temaan-teman yang lain apabila temannya mengalami kesulitan dalam belajar. Ade dan ria juga sering belajar bersama, di rumah Ria. Orang tua Ria juga senang melihat anak nya rajin belajar, disamping itu orang tua ria juga senang melihat Ade karena Ade anak yang sopan.
Menilai Ria wanita yang baik dan pintar, akhirnya mereka berpacaran. Agar saling memotivasi dalam belajar. Orang tua Ria tidak melarang status mereka, tetapi Orang tua Ria tidak lupa menasehati keduanya. Keduanya sangat senang. Berhubung sudah kelas tiga mereka akan melaksanakan UN, untuk menentukan lulus atau tidaknya mereka dari SMP. Sebelum Un tiba mereka belajar bersama.
Saat itu UN tiba selama tiga hari, kemudian di susul dengan US dan ujian praktek. Setelah semua ujian selesai, pengumuman kelulusan di adakan dua minggu lagi. Sambil menunggu pengumuman mereka hanya datang-datang saja kesekolah. Mereka bercerita-cerita di bawah pohon belakang kelad Ade, tiba-tiba Ria bertanya “ De lulus SMP mo SMA dimana ?”. Dengan wajah cemberut Ade menjawab “padang”. Mendengar jawaban Ade, Ria langsung berkata “apa ?”. ade langsung menatap Ria dengan wajah sedih dan berkata “ia saya SMA di padang, karena kami sekelurga semuanya mau pulang kampung”. Mendengar kata-kata itu Ria kelihatan lesu, Ade menatap Ria dengan wajah sedih pula.
Lalu Ade mengelus-elus kepala Ria, dan berkata “udah, jangan sedih dung. Ayo senyum. Lagi pula kita masih banyak waktu untuk bersama”. Ria tetap diam, dia merasa sedih hingga air mata nya keluar membayangkan perpisahan mereka. sebenarnya Ade juga merasaka kesedihan yang dialami oleh Ria tetapi Ade tidak menampakkan nya, dia tetap menghibur Ria “udah jangan sedih nanti kalau libur saya main kok kerumah Ria”. Tiba-tiba Ria tersenyun dan berkata “ janji ya”. Ade “iya janji”.
Dua minggu kemudian mereka pengumuman, semua siswa di nyatakan lulus seratus persen. Semua siswa merasa gembira. Mereka melakukan aksi corat-coret baju sekolah walaupun hal itu di larang oleh sekolah. Dua hari kemudian diadakan perpisahan sekolah. Semua siswa merasa senang. Ade dan Ria foto-foto berdua dan mengajak teman-teman lainnya. Acara perpisahan usai, keesokan hari nya tidak ada siswa kelas tiga yang dating kesekolah termasuk Ade dan Ria.
Siang itu Ade datang kerumah Ria untuk pamitan, karena Ade besok mau berangkat ke padang untuk mengurus sekolah nya dan mengikuti tes SMA di padang. Ade menatap Ria dan berkata “mungkin ini pertemuan terakhir kita di masa-masa SMP, karena saya besok pagi langsung berangkat ke padang dan tidak pulang lagi karena saya sudah selesai mengurus surat-surat di SMP kita.” Ria hanya diam dia tidak dapat berkata apa-apa lagi kecuali hanya mengeluarkan air mata. Ade terharu melihat kesedihan Ria, Ria bilang ke Ade “hati-hati ya di jalan, jangan lupa telpon atau sms Ria”. Ade hanya mengagukkan kepala.
Hari da mulai sore Ade pamit pulang tak lupa pula dia pamit sama orang tua nya Ria. Keesokan hari nya Ade sekeluarga berangkat, mau tidak mau Ria harus mengikhlaskan kepergian Ade. Untuk menghibur diri nya Ria bermain dengan teman.

CINTA TAK DI RESTUI

CINTA TAK DI RESTUI
Oleh: ira

Chintya nama nya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Saat itu chintya duduk di sekolah kelas tiga SMA. Chintya di larang oleh kedua orang tua nya untuk berpacaran selama dia masih di bangku sekolah, apalagi berpacaran dengan orang yang tidak jelas asal-usul nya dan tidak berpendidikan. Saat itu liburan semester tiba tak jauh dari rumah nya ada acara pasar malam, chintya mengajak temannya Desy pergi ke pasar malam itu. Disitu chintya dan Dessy melihat-lihat permainan yang ada di pasar malam itu, dan mereka juga mengikuti permainan itu.
Setelah selesai mengikuti permainan mereka melanjutkan perjalanan mereka, tanpa sengaja chintya menginjak kaki seorang lelaki. Dengan perasaan kaget chintya langsung berhenti berjalan kaki meminta maaf kepada lelaki tersebut, dan lelaki itu membalasnya hanya dengan senyuman. Desy masih melanjutkan perjalannya dia tidak tahu bahwa Chintya menginjak kaki orang dan dia berhenti di suatu tempat. Tanpa sengaja Desy meninggalkan Chintya dan mereka terpisah saat itu. Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya dan secara tidak langsung mengajak Chinya berkanalan.
Lelaki itu mengeluarkan kata-kata” Bari”, kemudian chintya membalas dengan kata-kata “Chintya”. Tiba-tiba Chintya inget Desy “ nah mana si Desy”, kemudian bari berkata “kesana”. Chintya “ yeah kok aku ditinggal”. Bari “bareng sama aku aja”. Chintya “emang Bari sama siapa”. Bari “sendiri”. Chintya “owh, ya udah”. Akhirnya Bari dan Chintya jalan bareng, waktu sudah malam Chintya ingin pulang dan dia tidak bertemu dengan Desy lagi. Pikir Chintya “Desy mungkin sudah pulang ya Bar karena hari da malam”. Bari “mungkin, Chintya aku ja yang nganter pulang”. Chintya langsung menerima tawaran bari, akhirnya mereka pulang bareng. Ketika Chintya mau masuk ke pintu rumahnya bari memanggil Chintya “Chin boleh minta nomor HP gak?”, Chintya “boleh”. Chintya langsung memberikan nomor HP nya, bari “ thank’s yo”. Kemudian Chintya langsung masuk ke rumahnya.
Tak cukup dari situ, mereka melanjutkan komunikasinya lewat telfon dan sms. Bari bilang ke Chintya bahwa dia sekolah STM di jambi kelas dua. Dia membohongi Cintya padahal dia hanya tamat SD, Chintya percaya dengan kata-kata Bari. Tak lama kemudian mereka berpacaran tapi mereka becstreet. Kalau mereka ingin bertemu mereka bertemu di suatu tempat, Ketika mereka sedang berjalan, mereka berpapasan dengan mama Chintya, Chintya mulai cemas karena dia tadi bilang sama mama nya mau main kerumah Irma sahabatnya. Sepanjang perjalanan Chintya cemas dan bingung, dia memikirkan bagaimana dia pulang kerumah nanti apa yang terjadi padanya karena dia ketahuan bohong dengan mamanya.
Hari da mulai sore Chintya di antarkan bari pulang, tetapi tidak di rumah nya. Bari mengantarkan Chintya pulang jauh dari rumah Chintya karena bari juga merasa takut di marah mama Chintya. Ketika tiba di rumah Chintya di panggil mamanya “ dari mana kak”, Chintya hanya diam. Lalu mama Chintya mulai marah “ kakak mulai bohong ya sama mama, kakak bilang mau kerumah Irma, tapi jalan sama lelaki. Mama kan da bilang kalau masih sekolah kakak belum boleh pacaran dulu. Siapa lelaki itu ?. chintya “ temen ma”. Mama “ laon kali kakak gak boleh jalan lagi kemana pun”. Chintya langsung masuk ke kamar nya, dia menyasali perbuatannya itu. Selama eman bulan hubungan mereka masih dijalani nya sampai Chintya lulus sekolah.
Chintya melanjutkan kuliah di salah satu universitas kesehatan Palembang jurusan Farmasi. Jadi Chintya dan Bari PAJERO. Walaupan Chintya di Palembang mereka masi bisa bertemu, malahan mereka senang karena jauh dari orang tua. Orang tua Chintya tidak tau bahwa Chintya pacaran dengan Bari. Sudah dua tahun mereka pacaran, dan Chintya kini sudah semester tiga. Orang tua nya tidak lupa pula selalu memberikan nasihat pada anaknya. Tidak lama kemudian terdengar kabar kalau Chintya sudah hamil empat bulan. Semua merasa kaget dan tidak percaya.
Eh ternyata gosip itu benar, mengetahui hal itu mama Chintya sangat sedih, dia merasa bersalah karena dia tidak bisa menjaga anak nya, Chintya juga merasa menyesal karena sudah mengecewakan mama mya yang sudah banyak berkorban demi masa depannya. Yah mau gimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Dengan sangat terpaksa Chintya dikeluarkan dari kuliah nya, dengat sangat terpaksa pula orang tua nya harus menikahkan dia. Chintya baru mengetahui latar belakang Bari sebenarnya, mau tidak mau dia harus menerima Bari untuk menjadi suaminya. Akhirnya mereka menikah lima bulan memikah mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Walaupun awalya orang tua Chintya tidak menyetujui hubungan anaknya itu tetapi lama-lama mereka bisa terima. Saat ini mereka hidup bahagia.

Cinta Pertama

Cinta Pertama
Oleh: Ira
Namun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah Adit punya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik Adit. Aku setahun lebih tua darinya. Status sosial keluargaku dan keluarga Adit bagaikan langit dan bumi. Ayah Adit seorang pengusaha sukses dan ibunya seorang guru. Sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD. Ibuku kemudian berjualan kue-kue untuk menghidupi kami yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar limabelasan ribu. Aku juga sering membantu menjualkan kue-kue ibuku ke sekolah. Namun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersaudara. Aku sendiri pernah diusir dari kelas karena belum membayar uang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisi itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemu dengan Doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat Adit sejak SD. Jika Adit adalah seorang yang pendiam, Doni seorang cowok yang supel. Hampir semua orang mengenalnya. Dengan senang hati Doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampai rumah. Di jalan Doni bercerita:
“Mbak, kemarin Adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek di desa kita juga ini lho,” cerita Doni memanggilku dengan embel-embel Mbak, tradisi di desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
”Yang bener aja, Don? Emangnya siapa?” “Tak tahu juga mbak, Adit tak sebut nama,” “Iyakah? Tapi di desa kita ini ‘kan banyak ceweknya?”.
“Iya juga ya mbak, and….kira kira siapa ya? Hayooo siapa………..?”
“Ooi oi siapa dia oh siapa dia,” Doni malah menyanyi seperti pembawa acara Kuis Siapa Dia di TVRI waktu kami kecil dulu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku punya harapan. Tapi, ah tak mungkin masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk dijatuhin cinta sama Adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap Adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan Adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandigan olahraga di lapangan sekolah, Adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa Adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap Adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata Doni dan….Adit. Doni mau meminjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku?.
“Ehm….tenang mbak, tenang. Bukan untuk aku ko, Mbak. Itu tu untuk Adit,” kata Doni seperti mengetahui keherananku. Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah di sini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan Mbak, Mbak Tari yang baik…?” Aku melirik Adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk rumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu kusimpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, kubilang sama Doni agar nanti Adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
****
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba …gedubrak….. terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak kesakitan jatuh terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera menghampirinya. Orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah Adit. Namun tak lama polisi datang membubarkan kerumunan dan segera membawa Adit ke rumah sakit terdekat. Aku dan temanku menemaninya tanpa diminta.Sesampainya di rumah sakit, Adit dibawa ke ruang gawat darurat. Polisi meminta sedikit informasi mengenai Adit. Aku mengatakan Adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga Adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah terlambat pulang. Meski aku keberatan, kuanggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian Adit di bawa ke ruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit mendapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat Adit masih tertidur ketika perawat meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan Adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur Adit. Kutatap wajah Adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan Adit, sudah hampir pukul 3 sore. Ke mana ya keluarga Adit, batinku. Aku turun dikursi dan kutelungkupkan kepalaku di ranjang. Di ruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk Adit, segera kuusap mukaku dan sedikit kurapikan rambutku. Kutengok Adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah kuucapkan terimakasih kepadanya. Kami sama-sama saling terdiam tak tahu harus berkata apa. Beberapa menit berlalu, kucoba memecahkan kekakuan ini.
”Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil kusandarkan badanku ke dinding jendela. “Lumayan Mbak, Mbak dari tadi nungguin aku ya?” tanya Adit lemah.
Aku hanya mengangguk. Kami sama sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berada di sini bersama Adit, tapi rasanya lidah ini kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, ke mana Ibu Adit ya, kok sampai sekarang belum datang juga. Tadi polisi menjemput ke rumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sesekali menatap kepada Adit.
“Mungkin di rumah tak ada orang, Mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa Inggris. Paling Mbok Warti yang biasa bantu kami bersih-bersih rumah,” jawab Adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya sedikit ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam.
Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa memasuki kamar. Ayah dan ibu Adit yang kelihatan sangat mencemaskan Adit, segera menghampirinya yang terbaring lemah. Baru setelah itu ibu menoleh kepadaku dan mengucapkan terima kasih. Tak lama berselang Doni datang dengan kecemasan juga, Doni tersenyum padaku sebelum menyapa Adit. Wah untung ada Doni, bisa minta tolong nganterin aku pulang. Aku sudah capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kuberbisik pada Doni untuk mengantarku pulang. Dan ternyata Doni mengiyakannya. Aku segera berpamitan pada ayah ibu yang tak henti mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah menemani Adit, begitu juga Adit dengan diiringi senyum manisnya.
***
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketika aku sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku diketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yang cantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagai rasa terimakasih dari keluarganya. Kata Adit, itu bikinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah dipinjamnya bersama Doni.
“Mbak ini sesuai janji Doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata Adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh arti. Aku salah tingkah, seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi Adit langsung berpamitan. Dan ketika akan kuletakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas berlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya Adit yang terselip di lembaran ini. Segera kuambil dan kubuka, kubaca tulisan di dalamnya:
To : Mbak Tari
Mbak, Adit suka sama Mbak. Rasa ini sudah lama Adit simpan. Bagaimanakah perasaan Mbak pada Adit. Maaf ya Mbak?
From : Raditya***

Santai Sahabat

Santai Sahabat
Oleh: ira
Mungkin kau kecewa
Semua dating yang tak kau minta
Namun ini semua kenyataan kita
Waktu kita lelah dalam menjadi
Semua macam kisah dalam hidup ini
Kadang kita lemah hanya mampu untuk pasrah
Saat kanyataan gak sejalan dengan harapan
Saat keyakinan hilang dalam kepahitan
Tetaplah tabah setidaknya kau mencoba
Menjadi lebih dalam jalani hidup ini
Janganlah resah tiada waktu menjawabnya
Kau harus bersabar
Semua indah pada waktunya
Santai saja sahabatku
Ikuti kata hati biarkan sedihmu berlalu
Kau pasti bisa
Menjadi suatu hari dengan pagi yang baru
Tenang saja sahabat hadapilah semua.

Kata hati

Kata hati
Oleh: ira
Kau tak terukir dalam catatan harianku
Asal usul mu tak hadir dalam diskusi kehidupanku
Dalam wajahmu tak terlukis dalam sketsa mimpiku
Indah suaramu
Tak terekam dalan pita batinku
Namun kamu hidup mengaliri pori pori cinta dan semangatku
Sebab kamu adalah anugrah terindah dan teragung
Yang Tuhan ciptakan untukku
Dihadirku telah ku berikan ruang untukmu
Disetiap bilik jantungku akan ku ukir namamu
Wahai bidadariku cantik
Siapakah engkau sebenarnya
Andai ku tahu siapa kamu
Akan slalu ku tulis di biku harianku.

Kesenpurnaan

Kesenpurnaan
Oleh: ira
Kini semua tlah kembali
Tawa canda senyum dan ceriaku
Semua tlah kembali
Karna kesempurnaan cinta yang kau beri
Ku tlah dapatkan kembali semangatku
Yang semula ku tak yakin itu semua akan hadir
Kembali di kehidupanku
Kesempurnaan cintamu membuatku menggilaimu
Tuhan terimakasih engkau tlah hadirkan dia ke dalam hidup ku
Dia bagaikan malaikat yang selalu membawa
Kedamaian dalam relung jiwa ku
Jangan pernah kau ambil dia dalam hidupku tuhan.

Cinta dari kamu, dia, dan mereka

Cinta dari kamu, dia, dan mereka
Oleh: ira
Hidup seperti kertas putih
Kita terlahir dari kondisi kehidupan yang putih
Tanpa warna dan tanpa noda
Beranjak dewasa
Kertas itu mulai menampakkan warna
Warna-warni yang indah
Jika kita bisa memilih
Kertas itu akan lusuh kotor dan kusam
Jika kita menjalani hidup yang tak tau aturan
Kini kertas ku begitu banyak warna
Warna yang mengajariku pentingnya arti sebuah kehidupan
Kehidupan yang penuh tantangan
Kertasku kini sudah cantik
Hanya butuh satu warna lagi
Untuk menyempurnakan warnaku
Entah kapan ku bisa menemukan warna itu
Kertasku kini menjadi warna-warni
Warna itu berisi kamu, dia, dan mereka
Kamu untuk dia yang ku cintai
Dia untuk mereka sahabat-sahabat dan teman-temanku
Mereka untuk kamu orang tua dan seluruh keluargaku
Kertasku yang dulu pudar kini kembali cerah
Cerah karena cinta dan kasih sayang
Dari kamu, dia, dan mereka.

Pedih

Pedih
Oleh: ira
Engkau yang sedang patah hati
menangislah dan jangan ragu ungkapkan
betapa pedih hati yang tersakiti
racun yang membunuh mu perlahan
engkau yang saat ini pilu
betapa menanggung beban kepedihan
tumpahkan sakit itu pada tangis mu
yang menusuk relung hati yang paling dalam
hanya diri sendiri
yang tak mungkin prang lain tak mengerti
disini ku temani kau dalam tangis mu
biar air mata dapat cairkan hati
kan ku cabut duru pedih dalam hati mu
agar ku lihat senyum di tidur mu malam nanti
anggaplah semua ini
satu langkah dewasakan diri
dan tak nterpungkiri juga bagi mu.